Jumat, 23 Desember 2011
07.05
No Comments
Jika yang dimaksud dengan “Pendidikan” adalah proses
menumbuhkan sisi-sisi kepribadian manusia secara seimbang dan integral, maka
“Pendidikan Politik” dapat dikategorikan sebagai dimensi pendidikan, dalam
konteks bahwa manusia adalah makhluk politik. Sebagaimana halnya bahwa
pendidikan mempunyai fungsi-fungsi pemikiran moral, dan ekonomi, maka
pendidikan politik juga mempunyai fungsi politik yang akan direalisasikan oleh
masyarakat khususnya mahasiswa.
Pendidikan politik itulah yang akan menyiapkan anak
bangsa untuk mengeluti persoalan social dalam medan kehidupan dalam bentuk
atensi dan partisipasi, menyiapkan mereka untuk mengemban tanggung jawab dan
memberi kesempatan yang mungkin mereka bisa menunaikan hak dan kewajibannya.
Hal itu menuntut pendidikan anak bangsa untuk menggeluti
berbagai persoalan sosial dalam medan kehidupan mereka dalam bentuk atensi dan
partisipasinya secara politik, sehingga mereka paham terhadap ideology politik
yang dianutnnya untuk kemudian membelanya dan dengannya mereka wujudkan
cita-cita diri dan bangsanya.
Pendidikan politik inilah yang mentransfer nilai-nilai
dan ideology politik dari generasi ke generasi, dimulai dari usia dini dan
terus berlanjut sepanjang hayat. Pendidikan politik merupakan kebutuhan
darurat bagi masyarakat terutama mahasiswa, karena berbagai factor yang saling mempengaruhi, dengan
demikian pendidikan politiklah yang dapat membentuk perasaan sebagai warga
negara yang benar , membangun individu dengan sifat-sifat yang seharusnya, lalu
mengkristalkannya sehingga menjadi nasionalisme yang sebenarnya. Ialah yang
akan menumbuhkan perasaan untuk senantiasa barafiliasi, bertanggung jawab dan
berbangga akan jati diri bangsa.
Tuntunan ini demikian mendesak dan sangat dibutuhkan oleh
masyarakat kita, mengingat bahwa penumbuhan kesadaran politik menjadikan
seorang warga negara serius mengetahui hak dan kewajibannya, serta berusaha
memahami berbagai problematika masyarakat. Untuk itu, dalam rangka
menanggulangi persoalan diatas, maka, dipandang perlu untuk memberikan
pendidikan politik mulai dari tingkat akademisi sampai ke lepel yang paling
rendah sekalipun.
Prof. J.E. Sahetapy mengatakan, "perguruan tinggi
seharusnya sebagai tempat make a life, bukan make a living". Dalam dunia
kampus seharusnya mahasiswa belajar membiasakan diri untuk menciptakan dan
membudayakan nilai-nilai luhur sejak dini hingga akhir hayatnya, bukan hanya
saat berada di kampus saja. Sehingga ketika memasuki dunia ‘nyata’ ia tetap
teguh berpegang pada prinsip yang selama ini ia pelajari.
Dengan demikian, Pendidikan politik perlu ditanamkan
dalam jiwa kaum intelektual guna menekan segala tindak-tanduk ketidak bersihan
politik, khususnya saat pemilu.
Diharapkan pada forum pendidikan politik ini kita bisa
melakukan proses penyadaran politik kepada calon pemimpin bangsa yang akan
datang akan betapa pentingnya berpolitik, untuk masa depan bangsa Indonesia
yang lebih baik. Amien.
Minggu, 18 Desember 2011
PTN, Antara Cover dan Isi
03.19
No Comments
Oleh Agus Syahputra*
Status Perguruan Tinggi Negeri kembali diributkan. Dalam rapat dengar pendapat umum pembahasan Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi (RUU PT), belum lama ini di Jakarta, pemerintah dan DPR memberi tawaran tiga opsi status PTN pasca pembatalan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan oleh Mahkamah Konstitusi. Tiga opsi itu diantaranya: perguruan tinggi otonom, semi otonom, dan otonom terbatas.
Pembahasan status PTN hemat penulis bukan sesuatu substantif. Pasalnya, PTN telah lama berdiri, tapi pemangku kebijakan masih berkutat pada persoalan cover atau bungkus. Para stakeholders dunia pendidikan belum beranjak dalam persoalan substansial institusi pendidikan tinggi seperti ditegaskan dalam UUD 1945 yakni bagaimana setiap warga negara berhak mengenyam pendidikan.Selain itu, masalah lebih serius dalam pendidikan kita seperti: komersialisasi, kapitalisasi, dan seabrek persoalan lain sejatinya mendapat perhatian penting dari pemangku kebijakan pendidikan. Pelbagai masalah signifikan dan bahkan mendesak itu justru diabaikan dan para elit pendidikan lebih suka mengurusi persoalan bungkus, itu-itu saja dan tak urgen.
Sebagai bangsa besar, kita patut merasa aneh. Mengapa persoalan pendidikan di negeri ini, atau lebih spesifik PTN tak mengarah pada masalah pendidikan yang lebih mendesak dan menawarkan solusi yang lebih solutif atas pelbagai problem pendidikan itu. Apakah kita kekurangan intelektual yang mengerti akar persoalan pendidikan di bangsa ini?
Penulis dan bahkan kita semua kadang berpikir, apakah pemangku kepentingan pendidikan sudah buta mata, tuli telinga, dan mati rasa—atas pelbagai persoalan serius pendidikan. Persoalan klise pendidikan, semisal, mahalnya biaya masuk kuliah, sarana dan prasarana kampus minim, tenaga pengajar kurang berkualitas, hedon(isme) mahasiswa, PT yang berada di menara gading serta tak jarang apatis terhadap lingkungan masyarakatnya, belum lagi soal kualitas pendidikan kita kini di bawah Malaysia—ini merupakan masalah signifikan di dunia pendidikan negeri ini?
Tapi, anehnya, persoalan penting itu belum banyak dibicarakan pemangku kepentingan pendidikan di negeri berpenduduk 240 juta jiwa. Mereka (baca: stakeholders pendidikan) malah sibuk di persoalan cover pendidikan, menentukkan status PTN semisal. Padahal, kita tahu menentukkan status PTN memakan ongkos yang tak sedikit, termasuk biaya politik di dalamnya—diakui atau tidak.
Sudah bukan rahasia umum, tiap perumusan status PTN menelan biaya mahal. Mulai dari tahap perencanaan, rapat antara DPR dan pemerintah, adanya lobbi serta negosiasi politik, hingga tahap implementasi di lapangan, semua butuh ongkos yang tak sedikit. Ironinya, para elit pendidikan justru senang mengurusi persoalan seperti itu? Aneh bukan?
Komitmen Pemerintah
Apa pun statusnya nanti yang akan dipilih PTN, entah itu otonom, semi otonom, atau otonom terbatas, tapi yang jelas komitmen pemerintah sebagaimana diamanahkan UU harus dijalankan, yakni meningkatkan kualitas pendidikan, tidak memangkas anggaran negara dengan dalih status otonom. Intinya, pemerintah diharapkan tidak cuci tangan dalam persoalan status PTN.
Kegelisahan itu memang patut diresakan. Pasalnya, kita sudah punya pengalaman pahit. Kita tahu dengan berbagai status PTN, ada yang BHMN, BLU, dan sejenisnya, senyatanya biaya pendidikan di kampus tersebut mahal. Di tengah kondisi itu, pemerintah seakan lepas tangan dan menutup mata akan realitas pendidikan yang kian mahal dan menjeritkan kaum papa karena pelbagai status PTN yang mengarah pada bentuk kapitalisasi dan juga komersialisasi pendidikan.
Kini, arah kebijakan pemerintah pada dunia pendidikan tampaknya belum beranjak dari yang sebelumnya. Perumusan PTN tiga opsi itu dengan kata kunci “otonom” menandakan kewenangan lebih akan dilimpahkan pada masing-masing kampus tanpa kontrol ketat dari pemerintah. Dalam konteks itu, pemerintah cuci dan bahkan lepas tangan.
Ironi memang, di era demokrasi kontrol negara pada masa depan pendidikan lemah. Kata otonom ditafsirkan secara liberal. Yakni, kampus bebas mengelola segala aset yang dimiliki dengan muara utama komersialisasi dan kapitalilasi pendidikan. Dengan demikian, kampus dapat mencari uang sebanyak-banyaknya untuk membiayai operasional lembaga pendidikan agar dapat bertahan di tengah kompetisi yang begitu ketat.
Walhasil, dengan penerapan kebijakan seperti itu ujung-ujungnya rakyat kecil pula yang dirugikan. Itu sangat memukul nasib 29 juta rakyat miskin di negeri ini. Jangankan untuk memenuhi biaya pendidikan (baca: kuliah) yang melangit, untuk makan sehari-hari saja mereka susah. Parahnya, lembaga pendidikan kita, apalagi yang berstatus otonom sangat apatis dengan fenomena sosial itu, termasuk pula negara.
Kebekuan dan bahkan disorientasi pendidikan itu wajib dikritik konstruktif. Pada titik itu, publik berharap nurani pemangku kebijakan pendidikan dapat terbuka melihat realitas pendidikan yang kian susah diakses jutaan rakyat miskin dengan status otonom. Apa pun pilihannya, otonom, semi otonom, atau otonom terbatas—semuanya menyulitkan masyarakat. Di tengah kondisi itu, kita juga berharap akademisi, ilmuan, aktivis, politisi, LSM, media, serta elemen lain dapat bersatu menuntaskan problem krusial PTN tersebut. Kita tunggu saja!
Rabu, 14 Desember 2011
Kamis, 08 Desember 2011
Refleksi Aktivis dan Mahasiswa Yogya Peringati Hari HAM Internasional
01.00
No Comments
http://www.voanews.com/indonesian/news/Refleksi-Aktivis-dan-Mahasiswa-Yogya-Peringati-Hari-HAM-Internasional-135418273.html#.TuddXQqDT0M.facebook
Foto: Munarsih
Aliansi Mahasiswa Papua di Yogyakarta bekerjasama dengan Senat Mahasiswa Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan Solidaritas Anak Bangsa Untuk Kemanusiaan, selama beberapa hari hingga Sabtu menggelar serangkaian acara, termasuk diskusi dan pameran foto kekerasan di berbagai tempat di Indonesia.
Roni Simatupang dari PMII mengatakan, pameran foto di kampus UIN Sunan Kalijaga meliputi potret kekerasan yang dilakukan aparat maupun kekerasan yang terjadi antarwarga, bertujuan memberikan kesadaran kepada masyarakat agar menjauhi praktek kekerasan.
“Yang paling krusial, bagaimana setiap warga Negara memahami keberadaan dia di antara orang lain, dan orang lain bagi orang lain. Jadi tidak hanya kekerasan vertikal saja tetapi yang horizontal ini jauh lebih berbahaya sebenarnya yang terjadi di Indonesia ini,” papar Roni Simatupang.
Sementara, Martin dari Aliansi Mahasiswa Papua berpendapat, apa yang terjadi di Papua saat ini menunjukkan bahwa Negara gagal memberikan perlindungan kepada warganya sendiri.
“Pemerintah telah gagal melindungi dia punya masyarakat sendiri, artinya justri kita membuat masyarakat justru merasa tertekan, merasa ketakutan sehingga mereka tidak bias melakukan aktifitas-aktifitas untuk menunjang kehidupan sehari-hari sehingga kekerasan di tanah Papua terus tumbuh, dilakukan oleh siapapun," ujar Martin.
Sementara itu, dari refleksi atas Kekerasan Terhadap Perempuan Sebagai Pelanggaran HAM, Chaerul Anam, mahasiswa dan peneliti Pusat Studi Agama dan Budaya (Center for Religious and Cultural Studies) UGM mengemukakan hasil penelitiannya. Yaitu, sejumlah sekolah tingkat SMP dan SMA negeri dan swasta di Yogyakarta melakukan kekerasan berbasis agama Islam terhadap para siswa perempuan.
“Kebanyakan dari sekolah-sekolah itu memberlakukan peraturan yang menurut mereka Islami seperti kewajiban untuk mengenakan jilbab yang besar, ada kewajiban untuk shalat dan shalat itu bukan untuk kewajiban agama tetapi mereka memberlakukan absen (presensi), menggunakan absen kalau mau shalat dan itu berpengaruh pada kenaikan kelas. (Sehingga) siswa memiliki pemikiran bahwa, saya memang dipaksa sekarang tapi dipaksa untuk masuk surga daripada saya masuk neraka dengan sukarela,” kata Chaerul Anam memberi contoh kasus pelanggaran HAM dari hasil penelitiannya.
Gina, seorang guru sekolah Katholik mengatakan, ia telah dipaksa mundur dari pekerjaannya karena ia dituduh sebagai seorang lesbian akibat kedekatannya dengan salah satu siswa perempuan.
“Saya diajak ngomong sama Kepala Sekolah saat itu. Ditanya apakah ada hubungan spesial, perasaan anda seperti apa, anda tahu nggak ini sekolah Katholik yang besar, dan ayah dari anak ini memprotes keras meminta anda sebagai guru dikeluarkan. Terus terang sekolah tidak akan membela. Kalau anda lesbian lebih baik menikah dan terus tetap bisa kerja disini,” demikian tutur Gina.
Roni Simatupang dari PMII mengatakan, pameran foto di kampus UIN Sunan Kalijaga meliputi potret kekerasan yang dilakukan aparat maupun kekerasan yang terjadi antarwarga, bertujuan memberikan kesadaran kepada masyarakat agar menjauhi praktek kekerasan.
“Yang paling krusial, bagaimana setiap warga Negara memahami keberadaan dia di antara orang lain, dan orang lain bagi orang lain. Jadi tidak hanya kekerasan vertikal saja tetapi yang horizontal ini jauh lebih berbahaya sebenarnya yang terjadi di Indonesia ini,” papar Roni Simatupang.
Sementara, Martin dari Aliansi Mahasiswa Papua berpendapat, apa yang terjadi di Papua saat ini menunjukkan bahwa Negara gagal memberikan perlindungan kepada warganya sendiri.
“Pemerintah telah gagal melindungi dia punya masyarakat sendiri, artinya justri kita membuat masyarakat justru merasa tertekan, merasa ketakutan sehingga mereka tidak bias melakukan aktifitas-aktifitas untuk menunjang kehidupan sehari-hari sehingga kekerasan di tanah Papua terus tumbuh, dilakukan oleh siapapun," ujar Martin.
Sementara itu, dari refleksi atas Kekerasan Terhadap Perempuan Sebagai Pelanggaran HAM, Chaerul Anam, mahasiswa dan peneliti Pusat Studi Agama dan Budaya (Center for Religious and Cultural Studies) UGM mengemukakan hasil penelitiannya. Yaitu, sejumlah sekolah tingkat SMP dan SMA negeri dan swasta di Yogyakarta melakukan kekerasan berbasis agama Islam terhadap para siswa perempuan.
“Kebanyakan dari sekolah-sekolah itu memberlakukan peraturan yang menurut mereka Islami seperti kewajiban untuk mengenakan jilbab yang besar, ada kewajiban untuk shalat dan shalat itu bukan untuk kewajiban agama tetapi mereka memberlakukan absen (presensi), menggunakan absen kalau mau shalat dan itu berpengaruh pada kenaikan kelas. (Sehingga) siswa memiliki pemikiran bahwa, saya memang dipaksa sekarang tapi dipaksa untuk masuk surga daripada saya masuk neraka dengan sukarela,” kata Chaerul Anam memberi contoh kasus pelanggaran HAM dari hasil penelitiannya.
Gina, seorang guru sekolah Katholik mengatakan, ia telah dipaksa mundur dari pekerjaannya karena ia dituduh sebagai seorang lesbian akibat kedekatannya dengan salah satu siswa perempuan.
“Saya diajak ngomong sama Kepala Sekolah saat itu. Ditanya apakah ada hubungan spesial, perasaan anda seperti apa, anda tahu nggak ini sekolah Katholik yang besar, dan ayah dari anak ini memprotes keras meminta anda sebagai guru dikeluarkan. Terus terang sekolah tidak akan membela. Kalau anda lesbian lebih baik menikah dan terus tetap bisa kerja disini,” demikian tutur Gina.