"Arifinto bangun tradisi moral DPR," kata Anis Matta, Sekjen PKS, mengomentari pengunduran diri Arifinto dari DPR.
Membaca
berita itu, seorang teman lalu menggelengkan kepala berkali-kali.
”Dunia ini memang telah terbalik-balik,” katanya. ”Bagaimana logikanya,
seseorang yang telah melanggar moral, menonton gambar porno saat sidang
DPR, lalu dikatakan sebagai pembangun tradisi moral DPR!” ujar teman
saya itu agak geram.
Teman itu lalu menyebut seorang anggota DPR
yang telah jadi ”bintang video porno” beberapa tahun lalu. Anggota DPR
itu juga mundur dari DPR. ”Apakah orang seperti itu juga sebagai penegak
moral DPR?” kembali dia bertanya.
Tak berhenti sampai di situ.
Teman itu kemudian mengingatkan bahwa sampai sekarang Arifinto tetap tak
mengaku salah telah membuka file gambar porno. Gambar itu, kata dia,
hanya sekilas muncul di layar komputer kecilnya hanya karena silap
membuka kiriman surat elektronik. Padahal, bukti yang ditunjukkan
wartawan yang membongkarnya berbicara lain.
Arifinto, dalam
pandangan teman saya itu, mundur bukan karena merasa salah. Ia mundur
karena memperoleh tekanan publik dan tekanan elite PKS yang tidak ingin
citra partainya luntur.
Moralitas Anggota DPR
Ukuran
moralitas yang dipakai oleh Anis Matta dengan yang dipakai oleh teman
saya itu barangkali berbeda. Namun, apa yang dikemukakan oleh Anis Matta
memang bukan semata-mata mengacu pada ukuran moral yang jamak.
Apa
yang dilakukan Anis Matta harus dipahami sebagai upaya untuk
mempertahankan citra partai. Karena itu, argumentasinya itu bisa
dipahami sebagai upaya rekonstruksi tentang kader PKS yang telah dicap
sebagai pelanggar moral. Cap inilah yang dicoba untuk direkonstruksi
sebagai seorang penegak moral.
Hanya saja Anis lupa, logika
semacam itu jelas mengabaikan realitas bahwa pengunduran diri itu
merupakan bagian dari konsekuensi hukuman yang harus diterima. Menonton
gambar porno bisa jadi sudah dianggap sebagai sesuatu yang jamak
dilakukan, tetapi ketika hal itu dilakukan oleh anggota DPR pada saat
sidang, jelas merupakan pelanggaran berat. Ketika orang semacam ini
dipandang sebagai pahlawan, sebagai pembangun tradisi moralitas, sulit
diterima oleh publik.
Hal yang mungkin bisa kita cermati adalah
fenomena tentang titik berat moralitas yang jadi sorotan dan kegalauan.
Dalam hal yang bercorak personal dan berhubungan dengan agama,
kita—termasuk partai—begitu cepat meresponsnya. Kasus video porno
beberapa tahun lalu, foto Max Moein dan Arifinto, begitu cepat direspons
partai. Ketiga pelaku cepat mengundurkan diri dari DPR.
Cepatnya
reaksi partai terhadap kasus- kasus seperti itu tidak lepas dari
realitas bahwa kasus-kasus semacam itu masih dianggap tabu. Lebih-lebih
ukuran tabu tidaknya sesuatu acap kali dikaitkan dengan aspek moralitas
agama. Partai-partai tak mau berhadapan dengan realitas semacam ini
hanya dengan melindungi orang-orang yang telah dianggap sebagai
pelanggar moralitas agama.
Namun, ketika terdapat kasus-kasus
pelanggaran moralitas publik, berkaitan dengan kegiatan dan pengelolaan
negara, hampir semua partai tak cepat merespons. Tengoklah apa yang
dilakukan partai-partai terhadap anggotanya yang sering membolos atau
terlibat kasus korupsi. Semua partai biasanya tidak berbuat banyak,
kalau tidak malah defensif dengan alasan menganut asas ”praduga tak
bersalah”.
Lihat apa yang dilakukan PKS terhadap Misbakhun, PDI-P
dan Golkar terhadap para anggota DPR yang kesandung ”BI-gate”, dan
Partai Demokrat terhadap Amrun Daulay, juga partai lain yang kadernya
terlibat kasus korupsi? Semua defensif dan tak ada upaya serius mendesak
anggotanya yang terlibat itu mengundurkan diri.
Moralitas publik
Logika
semacam itu berarti bahwa masalah pelanggaran moral pengelolaan negara
masih belum dipandang sebagai sesuatu yang serius. Kasus-kasus abuse of
power, seperti kasus korupsi, masih dianggap lebih rendah kalau
dibandingkan dengan kasus menonton gambar porno.
Dalam perspektif
agama, kasus korupsi bisa jadi malah lebih besar daripada kasus
pembunuhan yang selama ini dianggap dosa besar. Kasus korupsi, apalagi
bernilai miliaran, sejatinya lebih besar dari ”pembunuhan” terhadap
ratusan orang.
Turunlah kita ke kampung-kampung, mencermati dan
bertanya kepada pedagang keliling. Setiap hari mereka memutar modal
senilai hanya puluhan ribu untuk menopang kehidupan sehari-hari. Kalau
uang satu miliar yang dikorupsi itu bisa dinikmati orang-orang kecil itu
untuk menambah modal, betapa berbunga-bunga wajah mereka.
Kesediaan
Arifinto mengundurkan diri sebagai anggota DPR memang patut dihargai.
Namun, masalah moralitas DPR itu bukan sekadar pelanggar moral agama
berkaitan dengan masalah video dan gambar porno. Moralitas publik yang
berkaitan dengan kerja dan tata kelola pemerintahan jelas tak kalah
penting. Bahkan, dalam kehidupan bernegara, masalah ini yang lebih
penting.
Meski demikian, bukan berarti orang yang mengundurkan
diri karena kasus-kasus pelanggaran moral itu, apakah moral agama atau
yang lain, lalu disebut sebagai pahlawan. Bagaimanapun, lembaga publik
semacam DPR telah punya aturan main. Yang melanggar harus diberi sanksi.
Orang yang kena sanksi, baik secara kelembagaan maupun tahu diri, lalu
membuat sanksi untuk dirinya adalah orang-orang terhukum atau menghukumi
diri sendiri.
Kacung Marijan Guru Besar dan Pengamat Sosial Politik