Minggu, 15 Januari 2012

Resensi Buku


Menggagas Gerakan Kultural Kebangsaan
Oleh: Agus Syahputra

Judul Buku      : Islam, Keindonesiaan dan Civil Society

Penulis             : Prof. Dr. Musa Asy’arie dkk.
Editor              : Imam Muhlis
Penerbit           : Padma Books
Edisi                : Januari, 2011
Tebal               : 378 halaman

Dinamika kebangsaan di negeri ini begitu kompleks. Di era reformasi saja, bangsa ini belum menemukan bentuk ideal, apalagi menemukan karakter dan jati diri bangsa yang diidamkan. Sebagai sebuah bangsa berdaulat, sampai detik ini Indonesia belum sepenuhnya dapat mandiri dan menentukan nasib bangsanya sendiri. Kini, Indonesia terperangkap pada arus perubahan zaman yang tak jarang menjebak, menelikung dan bahkan menggilas identitas nasional kita.
Situasi yang tak tentu dan bahkan rumit yang kini dialami bangsa Indonesia menyiratkan berbagai pertanyaan dan refleksi kritis anak bangsa. Dalam konteks itulah, buku ini dihadirkan di hadapan sidang pembaca. Buku ini merupakan kumpulan tulisan dari para pemikir dan penggerak perubahan yang bernaung di bawah payung PADMA—baik secara struktural maupun secara kultural.
Di dalam buku ini, para pemikir mencoba untuk merefleksikan ulang keadaan negeri ini dengan problematika kebangsaan yang telah melilit. Orde reformasi yang digadang-gadang mendatangkan angin perubahan bukan saja pada level sistem struktural tata negara, tapi lebih jauh, babak baru reformasi diharapkan bisa merubah kondisi sosial, politik, budaya dan sistem kehidupan lain di Indonesia menjadi lebih baik, namun semua itu masih jauh dari realitas.
 Pun bagai menelan empedu, reformasi terasa pahit. Ibarat pepatah, babak reformasi menggambarkan sebuah situasi di mana bangsa ini keluar dari mulut harimau masuk dalam kubangan mulut buaya yang lebih ganas. Dari sini, reformasi yang kini menjadi nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara justru lebih buas dari orde sebelumnya (baca: Orde Baru).
Pertanyaannya, apa, siapa, dan bagaimana anak bangsa dapat membenahi situasi kebangsaan yang sudah sedemikian parahnya? Menyikapi hal itu, semangat buku ini mencoba urun rembuk dengan menawarkan alternatife solusi kritis dan cerdas terkait dengan pembenahan dan penataan sistem bernegara ini yang sudah terlanjur carut marut.
Memang, terasa seperti menggebu-gebu, bernada provokatif dan penuh rasa optimis, para pemikir dalam buku ini menggagas desain besar pemikiran alternatife sebagai tawaran solusi dalam membenahi negeri ini. Bagi para pemikir, tanggung jawab kebangsaan tak hanya dilimpahkan sepenuhnya pada struktur kekuasaan negara yang kini telah melemah.
Tetapi, tanggung jawab kebangsaan sejatinya diperkuat oleh kekuatan yang berada di luar sistem struktur negara. Di titik inilah, konsolidasi terhadap kekuatan civil society maupun kekuatan basis keagamaan (baca: Islam) sudah menjadi pilihan politik yang cerdas untuk memecah kebuntuan masalah bangsa.
Pada konteks itulah, konsolidasi inten terhadap kekuatan-kekuatan kultural yang berbasiskan keagamaan semestinya digerakan untuk menghasilkan sebuah perubahan hingga ke titik yang paling dasar persoalan bangsa. Dalam hal ini, kekuatan NU-Muhammadiyah sebagai ormas yang berlatar belakang keagamaan, ormas terbesar di bangsa kita—sudah harus dipadukan untuk mendobrak dan bahkan memecahkan berbagai kebuntuan masalah bangsa. Maka, bersiaplah.




   

Sabtu, 14 Januari 2012

SUARA MERDEKA CETAK - Sondang dan Ironi Demokrasi

Oleh : Agus Syahputra

PROTES sah-sah dilakukan. Apalagi di alam demokrasi. Ruang, di mana ekspresi individu dan kelompok dihadirkan. Tapi, alam demokrasi memiliki rambu-rambu yang juga mesti ditaati. Di dalam demokrasi, terdapat norma, etika, moral, dan nilai etis lain óyang semestinya dijunjung tinggi.

Dalam konteks kasus Sondang, sesungguhnya ekspresi berlebihan ditunjukkan dalam alam demokrasi.
Kita sama-sama mafhum, anarkisme, radikalisme, aksi brutal dan se-jenisnya tidak mendapat pembenaran dalam sistem demokrasi. Aksi bakar diri telah menabrak norma dan moral demokrasi.

Iklim demokrasi menghendaki, segala pendapat dapat disampaikan dengan cara arif, bijak, bahkan elegan. Terlebih jika ide, gagasan, kritikan itu disampaikan oleh (aktivis) mahasiswa, seperti Sondang. Saya tak bermaksud menggurui dan menyalahkan, sebetulnya ada ruang dan cara yang lebih beretika dalam menyuarakan kritik sosial terhadap berbagai ketimpangan di negeri ini, tanpa harus membakar diri.

Seperti diketahui, di mata masyarakat luas, mahasiswa adalah kelompok sosial yang kerap dipandang oleh kelompok masyarakat lain. Karena statusnya itu, tak pelak mahasiswa menjadi teladan bagi kelompok lain. Termasuk ketika ia mengeluarkan pendapat, berekspresi terhadap kebobrokan pemerintahan yang belakangan menjadi sorotan publik.
Lantas, apakah layak tindakan Sondang ditiru oleh kelompok masyarakat lain? Penulis pikir, kita semua tahu jawabannya. Apa pun alasannya, cara yang dilakukan mahasiswa Universitas Bung Karno itu dalam memprotes ketimpangan sosial di Republik ini tidak dapat dibenarkan. Dengan bahasa lain, demokrasi mengharamkan tindakan brutal, dengan cara apa pun.

Kultur demokrasi, dalam berbagai literatur, menghendaki berbagai pendapat, baik yang pro maupun yang kontra dapat diekspresikan dengan cara elegan. Apalagi, dilakukan mahasiswa. Sebagai agen perubahan bangsa, kritik konstruktif nan cerdas dan jauh dari tradisi kekerasan adalah pilihan yang dapat dilakukan mahasiswa. Contoh dengan cara negosiasi, diplomasi, menulis, demonstrasi, konsolidasi massa ótapi dengan catatan minus kekerasan.
Ekspresi demokrasi seperti inilah yang sejatinya dilakukan mahasiswa seperti Sondang. Bukan dengan bakar diri yang terkesan mencerminkan kefrustasian. (24) (/

Selasa, 10 Januari 2012

Site Search