Jumat, 23 Desember 2011
07.05
No Comments
Jika yang dimaksud dengan “Pendidikan” adalah proses
menumbuhkan sisi-sisi kepribadian manusia secara seimbang dan integral, maka
“Pendidikan Politik” dapat dikategorikan sebagai dimensi pendidikan, dalam
konteks bahwa manusia adalah makhluk politik. Sebagaimana halnya bahwa
pendidikan mempunyai fungsi-fungsi pemikiran moral, dan ekonomi, maka
pendidikan politik juga mempunyai fungsi politik yang akan direalisasikan oleh
masyarakat khususnya mahasiswa.
Pendidikan politik itulah yang akan menyiapkan anak
bangsa untuk mengeluti persoalan social dalam medan kehidupan dalam bentuk
atensi dan partisipasi, menyiapkan mereka untuk mengemban tanggung jawab dan
memberi kesempatan yang mungkin mereka bisa menunaikan hak dan kewajibannya.
Hal itu menuntut pendidikan anak bangsa untuk menggeluti
berbagai persoalan sosial dalam medan kehidupan mereka dalam bentuk atensi dan
partisipasinya secara politik, sehingga mereka paham terhadap ideology politik
yang dianutnnya untuk kemudian membelanya dan dengannya mereka wujudkan
cita-cita diri dan bangsanya.
Pendidikan politik inilah yang mentransfer nilai-nilai
dan ideology politik dari generasi ke generasi, dimulai dari usia dini dan
terus berlanjut sepanjang hayat. Pendidikan politik merupakan kebutuhan
darurat bagi masyarakat terutama mahasiswa, karena berbagai factor yang saling mempengaruhi, dengan
demikian pendidikan politiklah yang dapat membentuk perasaan sebagai warga
negara yang benar , membangun individu dengan sifat-sifat yang seharusnya, lalu
mengkristalkannya sehingga menjadi nasionalisme yang sebenarnya. Ialah yang
akan menumbuhkan perasaan untuk senantiasa barafiliasi, bertanggung jawab dan
berbangga akan jati diri bangsa.
Tuntunan ini demikian mendesak dan sangat dibutuhkan oleh
masyarakat kita, mengingat bahwa penumbuhan kesadaran politik menjadikan
seorang warga negara serius mengetahui hak dan kewajibannya, serta berusaha
memahami berbagai problematika masyarakat. Untuk itu, dalam rangka
menanggulangi persoalan diatas, maka, dipandang perlu untuk memberikan
pendidikan politik mulai dari tingkat akademisi sampai ke lepel yang paling
rendah sekalipun.
Prof. J.E. Sahetapy mengatakan, "perguruan tinggi
seharusnya sebagai tempat make a life, bukan make a living". Dalam dunia
kampus seharusnya mahasiswa belajar membiasakan diri untuk menciptakan dan
membudayakan nilai-nilai luhur sejak dini hingga akhir hayatnya, bukan hanya
saat berada di kampus saja. Sehingga ketika memasuki dunia ‘nyata’ ia tetap
teguh berpegang pada prinsip yang selama ini ia pelajari.
Dengan demikian, Pendidikan politik perlu ditanamkan
dalam jiwa kaum intelektual guna menekan segala tindak-tanduk ketidak bersihan
politik, khususnya saat pemilu.
Diharapkan pada forum pendidikan politik ini kita bisa
melakukan proses penyadaran politik kepada calon pemimpin bangsa yang akan
datang akan betapa pentingnya berpolitik, untuk masa depan bangsa Indonesia
yang lebih baik. Amien.
Minggu, 18 Desember 2011
PTN, Antara Cover dan Isi
03.19
No Comments
Oleh Agus Syahputra*
Status Perguruan Tinggi Negeri kembali diributkan. Dalam rapat dengar pendapat umum pembahasan Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi (RUU PT), belum lama ini di Jakarta, pemerintah dan DPR memberi tawaran tiga opsi status PTN pasca pembatalan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan oleh Mahkamah Konstitusi. Tiga opsi itu diantaranya: perguruan tinggi otonom, semi otonom, dan otonom terbatas.
Pembahasan status PTN hemat penulis bukan sesuatu substantif. Pasalnya, PTN telah lama berdiri, tapi pemangku kebijakan masih berkutat pada persoalan cover atau bungkus. Para stakeholders dunia pendidikan belum beranjak dalam persoalan substansial institusi pendidikan tinggi seperti ditegaskan dalam UUD 1945 yakni bagaimana setiap warga negara berhak mengenyam pendidikan.Selain itu, masalah lebih serius dalam pendidikan kita seperti: komersialisasi, kapitalisasi, dan seabrek persoalan lain sejatinya mendapat perhatian penting dari pemangku kebijakan pendidikan. Pelbagai masalah signifikan dan bahkan mendesak itu justru diabaikan dan para elit pendidikan lebih suka mengurusi persoalan bungkus, itu-itu saja dan tak urgen.
Sebagai bangsa besar, kita patut merasa aneh. Mengapa persoalan pendidikan di negeri ini, atau lebih spesifik PTN tak mengarah pada masalah pendidikan yang lebih mendesak dan menawarkan solusi yang lebih solutif atas pelbagai problem pendidikan itu. Apakah kita kekurangan intelektual yang mengerti akar persoalan pendidikan di bangsa ini?
Penulis dan bahkan kita semua kadang berpikir, apakah pemangku kepentingan pendidikan sudah buta mata, tuli telinga, dan mati rasa—atas pelbagai persoalan serius pendidikan. Persoalan klise pendidikan, semisal, mahalnya biaya masuk kuliah, sarana dan prasarana kampus minim, tenaga pengajar kurang berkualitas, hedon(isme) mahasiswa, PT yang berada di menara gading serta tak jarang apatis terhadap lingkungan masyarakatnya, belum lagi soal kualitas pendidikan kita kini di bawah Malaysia—ini merupakan masalah signifikan di dunia pendidikan negeri ini?
Tapi, anehnya, persoalan penting itu belum banyak dibicarakan pemangku kepentingan pendidikan di negeri berpenduduk 240 juta jiwa. Mereka (baca: stakeholders pendidikan) malah sibuk di persoalan cover pendidikan, menentukkan status PTN semisal. Padahal, kita tahu menentukkan status PTN memakan ongkos yang tak sedikit, termasuk biaya politik di dalamnya—diakui atau tidak.
Sudah bukan rahasia umum, tiap perumusan status PTN menelan biaya mahal. Mulai dari tahap perencanaan, rapat antara DPR dan pemerintah, adanya lobbi serta negosiasi politik, hingga tahap implementasi di lapangan, semua butuh ongkos yang tak sedikit. Ironinya, para elit pendidikan justru senang mengurusi persoalan seperti itu? Aneh bukan?
Komitmen Pemerintah
Apa pun statusnya nanti yang akan dipilih PTN, entah itu otonom, semi otonom, atau otonom terbatas, tapi yang jelas komitmen pemerintah sebagaimana diamanahkan UU harus dijalankan, yakni meningkatkan kualitas pendidikan, tidak memangkas anggaran negara dengan dalih status otonom. Intinya, pemerintah diharapkan tidak cuci tangan dalam persoalan status PTN.
Kegelisahan itu memang patut diresakan. Pasalnya, kita sudah punya pengalaman pahit. Kita tahu dengan berbagai status PTN, ada yang BHMN, BLU, dan sejenisnya, senyatanya biaya pendidikan di kampus tersebut mahal. Di tengah kondisi itu, pemerintah seakan lepas tangan dan menutup mata akan realitas pendidikan yang kian mahal dan menjeritkan kaum papa karena pelbagai status PTN yang mengarah pada bentuk kapitalisasi dan juga komersialisasi pendidikan.
Kini, arah kebijakan pemerintah pada dunia pendidikan tampaknya belum beranjak dari yang sebelumnya. Perumusan PTN tiga opsi itu dengan kata kunci “otonom” menandakan kewenangan lebih akan dilimpahkan pada masing-masing kampus tanpa kontrol ketat dari pemerintah. Dalam konteks itu, pemerintah cuci dan bahkan lepas tangan.
Ironi memang, di era demokrasi kontrol negara pada masa depan pendidikan lemah. Kata otonom ditafsirkan secara liberal. Yakni, kampus bebas mengelola segala aset yang dimiliki dengan muara utama komersialisasi dan kapitalilasi pendidikan. Dengan demikian, kampus dapat mencari uang sebanyak-banyaknya untuk membiayai operasional lembaga pendidikan agar dapat bertahan di tengah kompetisi yang begitu ketat.
Walhasil, dengan penerapan kebijakan seperti itu ujung-ujungnya rakyat kecil pula yang dirugikan. Itu sangat memukul nasib 29 juta rakyat miskin di negeri ini. Jangankan untuk memenuhi biaya pendidikan (baca: kuliah) yang melangit, untuk makan sehari-hari saja mereka susah. Parahnya, lembaga pendidikan kita, apalagi yang berstatus otonom sangat apatis dengan fenomena sosial itu, termasuk pula negara.
Kebekuan dan bahkan disorientasi pendidikan itu wajib dikritik konstruktif. Pada titik itu, publik berharap nurani pemangku kebijakan pendidikan dapat terbuka melihat realitas pendidikan yang kian susah diakses jutaan rakyat miskin dengan status otonom. Apa pun pilihannya, otonom, semi otonom, atau otonom terbatas—semuanya menyulitkan masyarakat. Di tengah kondisi itu, kita juga berharap akademisi, ilmuan, aktivis, politisi, LSM, media, serta elemen lain dapat bersatu menuntaskan problem krusial PTN tersebut. Kita tunggu saja!
Rabu, 14 Desember 2011
Kamis, 08 Desember 2011
Refleksi Aktivis dan Mahasiswa Yogya Peringati Hari HAM Internasional
01.00
No Comments
http://www.voanews.com/indonesian/news/Refleksi-Aktivis-dan-Mahasiswa-Yogya-Peringati-Hari-HAM-Internasional-135418273.html#.TuddXQqDT0M.facebook
Foto: Munarsih
Aliansi Mahasiswa Papua di Yogyakarta bekerjasama dengan Senat Mahasiswa Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan Solidaritas Anak Bangsa Untuk Kemanusiaan, selama beberapa hari hingga Sabtu menggelar serangkaian acara, termasuk diskusi dan pameran foto kekerasan di berbagai tempat di Indonesia.
Roni Simatupang dari PMII mengatakan, pameran foto di kampus UIN Sunan Kalijaga meliputi potret kekerasan yang dilakukan aparat maupun kekerasan yang terjadi antarwarga, bertujuan memberikan kesadaran kepada masyarakat agar menjauhi praktek kekerasan.
“Yang paling krusial, bagaimana setiap warga Negara memahami keberadaan dia di antara orang lain, dan orang lain bagi orang lain. Jadi tidak hanya kekerasan vertikal saja tetapi yang horizontal ini jauh lebih berbahaya sebenarnya yang terjadi di Indonesia ini,” papar Roni Simatupang.
Sementara, Martin dari Aliansi Mahasiswa Papua berpendapat, apa yang terjadi di Papua saat ini menunjukkan bahwa Negara gagal memberikan perlindungan kepada warganya sendiri.
“Pemerintah telah gagal melindungi dia punya masyarakat sendiri, artinya justri kita membuat masyarakat justru merasa tertekan, merasa ketakutan sehingga mereka tidak bias melakukan aktifitas-aktifitas untuk menunjang kehidupan sehari-hari sehingga kekerasan di tanah Papua terus tumbuh, dilakukan oleh siapapun," ujar Martin.
Sementara itu, dari refleksi atas Kekerasan Terhadap Perempuan Sebagai Pelanggaran HAM, Chaerul Anam, mahasiswa dan peneliti Pusat Studi Agama dan Budaya (Center for Religious and Cultural Studies) UGM mengemukakan hasil penelitiannya. Yaitu, sejumlah sekolah tingkat SMP dan SMA negeri dan swasta di Yogyakarta melakukan kekerasan berbasis agama Islam terhadap para siswa perempuan.
“Kebanyakan dari sekolah-sekolah itu memberlakukan peraturan yang menurut mereka Islami seperti kewajiban untuk mengenakan jilbab yang besar, ada kewajiban untuk shalat dan shalat itu bukan untuk kewajiban agama tetapi mereka memberlakukan absen (presensi), menggunakan absen kalau mau shalat dan itu berpengaruh pada kenaikan kelas. (Sehingga) siswa memiliki pemikiran bahwa, saya memang dipaksa sekarang tapi dipaksa untuk masuk surga daripada saya masuk neraka dengan sukarela,” kata Chaerul Anam memberi contoh kasus pelanggaran HAM dari hasil penelitiannya.
Gina, seorang guru sekolah Katholik mengatakan, ia telah dipaksa mundur dari pekerjaannya karena ia dituduh sebagai seorang lesbian akibat kedekatannya dengan salah satu siswa perempuan.
“Saya diajak ngomong sama Kepala Sekolah saat itu. Ditanya apakah ada hubungan spesial, perasaan anda seperti apa, anda tahu nggak ini sekolah Katholik yang besar, dan ayah dari anak ini memprotes keras meminta anda sebagai guru dikeluarkan. Terus terang sekolah tidak akan membela. Kalau anda lesbian lebih baik menikah dan terus tetap bisa kerja disini,” demikian tutur Gina.
Roni Simatupang dari PMII mengatakan, pameran foto di kampus UIN Sunan Kalijaga meliputi potret kekerasan yang dilakukan aparat maupun kekerasan yang terjadi antarwarga, bertujuan memberikan kesadaran kepada masyarakat agar menjauhi praktek kekerasan.
“Yang paling krusial, bagaimana setiap warga Negara memahami keberadaan dia di antara orang lain, dan orang lain bagi orang lain. Jadi tidak hanya kekerasan vertikal saja tetapi yang horizontal ini jauh lebih berbahaya sebenarnya yang terjadi di Indonesia ini,” papar Roni Simatupang.
Sementara, Martin dari Aliansi Mahasiswa Papua berpendapat, apa yang terjadi di Papua saat ini menunjukkan bahwa Negara gagal memberikan perlindungan kepada warganya sendiri.
“Pemerintah telah gagal melindungi dia punya masyarakat sendiri, artinya justri kita membuat masyarakat justru merasa tertekan, merasa ketakutan sehingga mereka tidak bias melakukan aktifitas-aktifitas untuk menunjang kehidupan sehari-hari sehingga kekerasan di tanah Papua terus tumbuh, dilakukan oleh siapapun," ujar Martin.
Sementara itu, dari refleksi atas Kekerasan Terhadap Perempuan Sebagai Pelanggaran HAM, Chaerul Anam, mahasiswa dan peneliti Pusat Studi Agama dan Budaya (Center for Religious and Cultural Studies) UGM mengemukakan hasil penelitiannya. Yaitu, sejumlah sekolah tingkat SMP dan SMA negeri dan swasta di Yogyakarta melakukan kekerasan berbasis agama Islam terhadap para siswa perempuan.
“Kebanyakan dari sekolah-sekolah itu memberlakukan peraturan yang menurut mereka Islami seperti kewajiban untuk mengenakan jilbab yang besar, ada kewajiban untuk shalat dan shalat itu bukan untuk kewajiban agama tetapi mereka memberlakukan absen (presensi), menggunakan absen kalau mau shalat dan itu berpengaruh pada kenaikan kelas. (Sehingga) siswa memiliki pemikiran bahwa, saya memang dipaksa sekarang tapi dipaksa untuk masuk surga daripada saya masuk neraka dengan sukarela,” kata Chaerul Anam memberi contoh kasus pelanggaran HAM dari hasil penelitiannya.
Gina, seorang guru sekolah Katholik mengatakan, ia telah dipaksa mundur dari pekerjaannya karena ia dituduh sebagai seorang lesbian akibat kedekatannya dengan salah satu siswa perempuan.
“Saya diajak ngomong sama Kepala Sekolah saat itu. Ditanya apakah ada hubungan spesial, perasaan anda seperti apa, anda tahu nggak ini sekolah Katholik yang besar, dan ayah dari anak ini memprotes keras meminta anda sebagai guru dikeluarkan. Terus terang sekolah tidak akan membela. Kalau anda lesbian lebih baik menikah dan terus tetap bisa kerja disini,” demikian tutur Gina.
Senin, 28 November 2011
Sabtu, 26 November 2011
Menakar Nasionalisme Kaum Pelajar
18.35
No Comments
Menakar Nasionalisme Kaum Pelajar
Oleh : Agus Syahputra
Perdebatan mengenai nasionalisme para pelajar yang lebih memilih mendukung
atlet dari Negara lain pada even Sea Games ke XXVI mestinya tidak perlu
berkepanjangan. Pasalnya,
masalah yang diperdebatkan adalah permasalahan klasik serta tidak esensial. Sederhananya, jiwa
nasionalisme tidaklah semata diukur dari hal semacam itu.
Berbicara nasionalisme
sama sekali tidak ada takaran yang pasti. Persoalannya,
bahwa para pelajar itu
telah menerima uang dari pihak tertentu untuk memberikan dukungan keparda
salah satu negara yang ikut berlaga dalam pesta olah raga Se- Asia Tenggara
tersebut adalah sah-sah saja,
karena mereka hanya sekadar memeriahkan, bahkan tidak
ada sama sekali terlintas dalam pikiran mereka untuk menjual rasa nasionalismenya.
Ibarat kata pepatah, ke manapun seseorang
merantau, niscaya suatu saat ia akan kembali ke kampong halamannya. Hal ini
mengisyaratkan bahwa, meskipun seseorang, dalam konteks Sea Games, malah justru
mendukung negara lain, maka ia pun pasti tidak akan melupakan tanah di mana ia
dilahirkan. Bahasa sederhananya, para pelajar tersebut, dalam hati terkecilnya
pasti tetap mendukung Negara di mana ia dilahirkan. Terlebih, meraka hanya mendapatkan tugas untuk ikut berpartisipasi dalam
menyukseskan pesta olah raga tersebut untuk memperlihatkan bahwa Indonesia sebagai tuan rumah mampu menjadikan ajang Sea Games ini sebagai alat diplomasi serta menjalin persahabatan sekaligus
pemersatu negara-negara di Asia Tenggara.
Dengan demikian,
kebijakan panitia penyelenggara yang menginstruksikan kepada beberapa sekolah
untuk memberikan dukungan kepada negara yang ikut berlaga merupakan tujuan yang
mulia dan semua yang dilakukan oleh para pelajar tersebut merupakan
sikap nasionalisme yang tinggi, karena mereka ingin memberikan citra baik untuk
bangsa ini. Semestinya persoalan tersebut tidak ditanggapi dengan sikap antipati, karena banyak hal yang harus kita selesaikan terkait masalah
nasionalisme dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan pesta olahraga seakbar sea-games
ini.
Ada
banyak hal yang harus kita selesaikan mengenai nasionalisme anak bangsa. Sebab, kita sama-sama menyadari bahwa
jiwa nasionalisme sedang
mengalami degradasi yang cukup menghawatirkan,
seperti, kasus tawuran antar pelajar yang sampai saat ini belum teratasi,
konfilik yang terjadi di masyarakat, gerakan sapararis yang bergejolak di
beberpa daerah dan lain sebagainya. Padahal, beberapa
persoalan tersebut lebih substansial karena mengancam
kesetabilan negara serta menggiring bangsa ini kepada disintegrasi. Inilah sebenarnya
persoalan besar yang akan terus mengancam nasionalisme anak bangsa kita dan
patut diperhatikan secara bersama.
Terlepas dari itu, fakta yang menunjukkan bahwa praktek kekerasan antar anak bangsa yang terus
bergejolak adalah realita yang mestinya pertama kali dijadikan sorotan tajam
jika kita ingin memperdebatkan nasionalisme anak bangsa ini dan bukan persoalan
kecil yang sebenarnya tidaklah perlu diperdebatkan itu.
Menurut penulis, ada
beberapa hal yang harus menjadi prioritas utama dalam mengembalikan semangat
nasionalisme tersebut. pertama, peran lingkungan sekola dalam membentuk
karakter paserta didik. Kedua, peran
aktif organisasi pemuda sangat diharapkan dalam memberikan pemahaman
nasionalisme di kalangan pemuda. Ketiga,
memberikan perhatian khusus kepada masyarakat yang berada di daerah konfilik
dan daerah perbatasan. Yang terakhir adalah peran pemerintahlah
yang dituntut aktif untuk mengapresiasi lembaga yang mengkampanyekan semangat
nasionalisme anak bangsa.
Dengan demikian, persoalan
nasionalisme tidak akan menjadi perdebatan yang panjang lagi sehingga tidak
akan ada pemaknaan yang keliru terhadap
nasionalisme. Sebab, yang kita inginkan bukanlah nasionalisme semu, tetapi
nasionalisme yang substansial. Dan dalam konteks kaum pelajar, jiwa
nasionalisme dapat ditumbuh-kembangkan dengan banyak cara, sikap dan kesadaran
merekalah yang harus terus dipupuk.
Kamis, 24 November 2011
BANTUL: Kejaksaan Negeri Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, menolak sumbangan yang dikumpulkan dalam aksi penggalangan dana ‘koin keadilan’ dari lembaga swadaya masyarakat’Gerakan Rakyat Bantul Anti Korupsi’.
Penolakan ‘koin keadilan’ yang dikumpulkan LSM Gerakan Rakyat Bantul Anti Korupsi (Gebrak) dalam rangka memberi bantuan stimulan Kejari Bantul untuk mengusut kasus dugaan korupsi Bantul Radio oleh pemerintah setempat itu, terjadi di depan gedung Kejari Bantul.
“Kalau adik-adik (para pengunjuk rasa) ingin menyumbang, ‘monggo’ (silakan) dikumpulkan, namun terus terang kami saat ini belum bisa menerima. Bukannya kami menolak bantuan, kami mohon kerelaan dan keterbukaan kalian,” kata Kepala Kejaksaan Negeri Bantul Retno Harjantari Iriani.
‘Koin keadilan’ yang akan diberikan kepada Kejari Bantul itu sebesar Rp303.800, yang diperoleh dari penggalangan koin dari para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bantul, dan masyarakat pengguna jalan, dalam perjalanannya sebelum LSM sampai gedung Kejari Bantul.
Koordinator aksi Agus Syahputra mengatakan penggalangan koin tersebut sebagai bantuan awal mereka untuk mendukung Kejari Bantul dalam mengusut kasus Bantul Radio, karena Kejari terkendala dana untuk menyewa tim “aprassial” sebesar Rp185 juta.
“Apabila nanti satu atau dua bulan tidak ada niat atau tindakan untuk menyelesaikan, maka kami akan turun ke jalan lagi untuk mengumpulkan koin guna membiayai pengusutan kasus Bantul Radio,” katanya.
Namun, kata dia, karena ‘koin keadilan’ tidak diterima Kejari Bantul, dan para pengunjuk rasa bersikukuh ingin menyerahkannya, maka ‘koin keadilan’ di dalam kotak kardus besar berisi nominal sebesar Rp303.800 itu hanya diletakkan di depan gedung Kejari Bantul.
“Silakan diterima, atau akan kami tinggalkan di Kejari, tidak tahu untuk apa, yang jelas uang ini sebagai dana stimulan, dan ini murni dari masyarakat. Kami ikhlas agar Kejari segera bertindak, dan kasus tidak mangkrak selama dua tahun,” katanya.
Ketika ditemui wartawan saat memasuki gedung Kejari Bantul, Retno mengatakan pihaknya tetap tidak bisa menerima sumbangan (koin keadilan) itu, karena pihaknya menilai akan menjadi gratifikasi.
“Kalau saya terima kan berarti gratifikasi, malah mengajari korupsi, karena itu uang dari masyarakat. Sebagai instansi pemerintah ada prosedurnya, dan yang paling tepat adalah Dinas Sosial,” katanya.
Aksi penggalangan ‘koin keadilan’ oleh LSM Gebrak menindaklanjuti pemberitaan di sejumlah media massa, beberapa waktu lalu, dimana Kejari Bantul melalui Kasi Intel Putro Haryanto mengaku tidak mempunyai anggaran untuk menyewa tim ‘apprasial’ sebesar Rp185 juta.
Menurut LSM Gebrak, PT Sucofindo adalah pihak yang akan disewa Kejari Bantul untuk menghitung nilai aset Radio itu sebelum dibeli Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bantul.
Radio yang semula berada di Kabupaten Sleman itu, belum mempunyai izin penyelenggaraan penyiaran (IPP).
tvOneNews: Kritik Kinerja Kejari Bantul, Mahasiswa dan Warga Kumpulkan Koin Keadilan - Kabar Pagi
03.50
No Comments
Bantul, (tvOne)
Puluhan mahasiswa dan warga Bantul
Yogyakarta mengumpulkan koin untuk diberikan kepada Kejaksaan Negeri
Bantul, (Rabu (23/11). Aksi itu dilakukan sebagai bentuk keprihatinan
mereka karena Kejari Bantul dinilai lamban mengusut tuntas kasus dugaan
korupsi pengadaan Radio Bantul.
Dengan membawa kotak sumbangan, sekelompok mahasiswa yang menamakan dirinya Gerakan Rakyat Bantul Berantas Korupsi itu langsung menyambangi para anggota Dewan DPRD Bantul.
Mereka meminta sumbangan koin keadilan secara sukarela kepada para anggota dewan. Tak hanya di Gedung DPRD Bantul, aksi koin keadilan juga dilakukan di sejumlah perempatan dan lampu merah.
Koin tersebut kemudian diserahkan kepada Kejaksaan Negeri Bantul.
http://video.tvonenews.tv/arsip/view/51312/2011/11/24/kritik_kinerja_kejari_bantul_mahasiswa_dan_warga_kumpulkan_koin_keadilan.tvOne
Dengan membawa kotak sumbangan, sekelompok mahasiswa yang menamakan dirinya Gerakan Rakyat Bantul Berantas Korupsi itu langsung menyambangi para anggota Dewan DPRD Bantul.
Mereka meminta sumbangan koin keadilan secara sukarela kepada para anggota dewan. Tak hanya di Gedung DPRD Bantul, aksi koin keadilan juga dilakukan di sejumlah perempatan dan lampu merah.
Koin tersebut kemudian diserahkan kepada Kejaksaan Negeri Bantul.
http://video.tvonenews.tv/arsip/view/51312/2011/11/24/kritik_kinerja_kejari_bantul_mahasiswa_dan_warga_kumpulkan_koin_keadilan.tvOne
Selasa, 25 Oktober 2011
Selasa, 17 Mei 2011
Jalan Terjal Reformasi
11.01
No Comments
Jalan Terjal
Reformasi
(Refleksi Peringatan 13 Tahun
Reformasi)
Oleh
: Agus Syahputra
Perjalanan panjang
bangsa ini tak lepas dari problematika kehidupan bernegara. Arif
kiranya, bila
kita mengenang reformasi 1998 sebagai bagian dari lipatan sejarah bangsa
yang
dapat diabaikan. Menurut sejarah, tragedi ini meletus dikarenakan banyak
kalangan yang tidak percaya pada rezim Soeharto. Dengan gaya kepemipinan
otoriter membuat masyarakat marah sekaligus muak karena mengekang
aspirasi
serta menutup diri dari kritik. Bahkan lebih parah lagi, pada masa orba
banyak
masyarakat hidup miskin dan melarat. Praktek Kolusi, Korupsi dan
Nepotisme
(KKN) marak, krisis finansial (krisis moneter) mengakibatkan stabilitas
pembangunan nasional terhambat, sirkulasi perekonomian nyaris terhenti,
dan
berimbas pada konstalasi ekonomi-politik dunia jadi terhambat.
Kebijakan tersebut
mengakibatkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan
Soeharto.
Sehingga banyak kalangan melakukan konsolidasi politik untuk menggagas
kepemimpinan
baru. Gagasan itu mampu menggerakan semua elemen masyarakat untuk
melakukan
perubahan. Meletuslah gerakan reformasi 13 tahun silam, yang berujung
pada
tumbangnya rezim Soeharto yang sebelumnya bertahan 32 tahun.
Gagasan besar mengenai reformasi muncul seiring dengan keinginan
masyarakat
untuk melakukan perubahan besar terhadap negara Indonesia. Demonstrasi
besar-besaran dilakukan oleh beberapa organisasi mahasiswa dan beberapa
elemen
masyarakat. Namun, Soeharto justru tidak menggubris gerakan demonstarasi
tersebut, bahkan tidak percaya bahwa gerakan itu akan mampu menumbangkan
kursi
kekuasaannya. Soeharto keliru. Sebab, fakta di lapangan menunjukkan pada
saat
gerakan demonstrasi tersebut berlangsung, Soeharto akhirnya dipaksa
mundur dari
kursi kepemimpinan negara karena situasi memang sangat sulit
dikendalikan.
Puncak kemarahan rakyat
Indonesia kepada rezim Orde Baru yang dipimpin Soeharto bermula dari
tindakan
brutal aparat keamanan terhadap mahasiswa yang sedang berdemonstrasi
sehingga
mengakibatkan empat mahasiswa Trisakti tewas dalam insiden berdarah itu.
Gerakan mahasiswa pun semaki meluas sampai ke seluruh penjuru daerah di
Indonesia.
Semua elemen turut
berpartisipasi dan turun jalan menuntut agar presiden Soeharto segera
turun dari jabatannya dan bertanggung jawab atas kematian empat
mahasiswa
Trisakti yang menjadi korban tindakan brutal aparat keamanan. Ini adalah
tragedi kemanusiaan, sehingga sulit untuk dimaafkan. Akhirnya, presiden
Soeharto terpaksa harus mengundurkan diri akibat dorongan dilakukan
para
elite politik dan dukungan moral dari negara-negara luar supaya Soeharto
turun
dari jabatannya. Turunnya presiden Soeharto dari kursi kepresidenan
menandakan
bahwa rezim Orde Baru sudah tumbang dan era reformasi menjadi babak baru
perjalanan bangsa Indonesia.
Evaluasi
Reformasi
Dalam
perjalanannya, reformasi tidak menunjukan hasil maksimal. Mulai dari BJ
Habibi
menggantikan Soeharto tidak membawa dampak signifikan terhadap perubahan
bangsa, karena pada masa itu masih banyak terjadi konflik antar agama
dan
etnis. Bahkan kesalahan terbesar yang dilakukan oleh presiden BJ. Habibi
ialah
memberikan kemerdekaan terhadap Timur-timur.
Abdurrahman Wahid atau
Gus Dur yang memenangkan pemilu tahun 1999 diharapkan bisa membawa
perubahan
bangsa Indonesia, namun Gus Dur tidak bertahan lama dikarenakan
kekuasaannya terjungkal oleh konspirasi elit. Pemerintahan Gus Dur
berakhir diganti Megawati.
Sejalan
perubahan waktu Megawati digantikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
atau SBY
yang sudah beranjak dua priode juga tidak mampu melakukan perubahan yang
berarti. Cita-cita reformasi yang menuntut kebebasan berfikir dan
berekspresi belum begitu memuaskan masyarakat, KKN semakin merajalela,
hak-hak
keadilan masyarakat semakin terenggut oleh mereka yang berduit, dan
pemerintah
sama sekali tidak peduli akan hal itu. Lantas apa yang menyebabkan
reformasi mandul? Dan siapa yang harus bertanggung jawab?
Menurut penulis,
kegagalan gerakan reformasi dikarenakan tidak mempunyai konsep berbangsa
dan bernegara yang jelas sehingga reformasi justru dianggap tidak
menjadi
solusi yang baik untuk menggantikan orba. Mahasiswa yang menjadi garda
terdepan
dalam menuntut reformasi hanya salah satu kelompok dari banyak kelompok
yang
bergerak memukul sehingga setelah itu mahasiswa tidak punya konsep
jangka
panjang. Kondisi itu oleh Riswanda Immawan disebut politik pintu roboh.
Maka dari itu, kondisi
ini menuntut tugas kita bersama. Cita-cita reformasi akan terwujud nyata
apabila semua elemen bisa berjalan secara sinergis dalam mengawal
tuntutan
reformasi demi terwujudnya pilar negara yang kuat, masyarakat yang
bebas beraspirasi, dan negara yang bersih dari KKN. Dan jika cita-cita
mendasar
tersebut belum terwujud, maka dapat dikatakan bahwa reformasi belum
usai, dan
tugas utama negara saat ini ialah menuntaskan tuntutan reformasi yang
merupakan
keinginan besar rakyat Indonesia.Membumikan Tradisi Baca Buku
03.43
No Comments
Membumikan Tradisi Baca Buku
( Refleksi Hari Buku Nasional )
Oleh : Agus Syahputra
Tiap
tanggal 17 Mei diperingati sebagai hari buku nasional. Momentum
bersejarah itu menjadi penting untuk membumingkan tradisi baca buku di
Indonesia. Karena kita tahu, tradisi membaca di negeri ini mengalami
penurunan yang signifikan. Padahal buku memberikan banyak ilmu yang
bermanfaat bagi bangsa ini.Buku merupakan jendela dunia. Pepatah itu menggambarkan bahwa buku banyak memberikan kita informasi mengenai banyak hal yang ada di dunia baik yang sudah lampau, sekarang dan yang akan datang. Kalau kita melihat beberapa negara maju, ternyata mereka memiliki tradisi baca buku yang tinggi. Amerika, Jepang, Perancis dan beberapa negara maju lainnya—di negara tersebut budaya baca buku kuat minimal delapan jam tiap hari.
Fakta itu berbanding terbalik dengan realitas yang terjadi di Indonesia. Di negara berkembang, termasuk Indonesia, kebiasaan baca buku di masyarakat hanya dua jam setiap hari. Parahnya lagi, berdasarkan survei UNESCO budaya baca masyarakat Indonesia berada di urutan ke-38 dari 39 negara dan merupakan yang paling rendah di kawasan ASEAN.
Menurut penulis ada beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya minat baca masayarakat Indonesia. Pertama, akibat dari perkembangan teknologi yang cukup pesat akan membawa dampak negative terhadap minat baca masyarakat. Artinya budaya nonton menjadi kuat sementara kebiasaan membaca buku lemah. Kedua, banyaknya tempat hiburan seperti taman rekreasi, karaoke, mall, dan supermarket yang lebih menjadi pilihan karena menyenangkan dari pada baca buku yang membosankan. Ketiga, buku dirasakan oleh masyarakat umum sangat mahal sedangkan jumlah perpustakaan di Indonesia masih sangat sedikit sehingga masyarakat lebih memprioritaskan kebutuhan lainya dari pada beli buku.
Lantas bagaimana membumingkan kembali tradisi baca di Indonesia? Pada konteks itu, peran orang tua sangat dibutuhkan dalam menumbuhkan semangat membaca anak-anak sejak usia dini dengan memberikan pengetahuan mengenai buku yang akan memunculkan rasa cinta dan ketertarikan untuk membaca. Hal ini harus di lakukan secara terus-menerus sehingga membaca menjadi kebiasaan dan kebutuhan.
Di samping itu, lembaga pendidikan juga mempunyai peran penting dalam meningkat budaya membaca di kalangan pelajar, melalui pembelajaran di ruang kelas yang mengarahkan semua murid untuk selalu membaca. Perpustakaan sekolah juga harus melakukan sosialisasi dan memberikan kenyamanan kepada siswa/mahasiswa agar mereka senang untuk datang dan membaca.
Dan yang tidak kalah penting adalah peran pemerintah yang diharapkan mampu meningkatkan budaya baca masyarakat dengan melakukan kerja sama dengan beberapa lembaga sponsor untuk menyediakan berbagai fasilitas seperti mendirikan perpustakaan di setiap desa seluruh Indonesia, melakukan sosialisasi dengan membentuk gerakan pecinta buku, dan memberikan keringanan pajak kepada penerbit agar harga buku bisa dijangkaui oleh masyarakat menengah kebawah.
Dengan demikian keinginan untuk membumingkan tradisi membaca di Indonesia akan terwujud jika semua pihak berjalan sinergis untuk saling melengkapi dan mengisi semua kekurangan dalam mewujudkan cita-cita besar para founding father kita yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan yakinlah bahwa Indonesia akan menjadi negara yang besar jika masyarakatnya gemar membaca dan mampu mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Menangkal Seks Bebas Remaja
03.40
No Comments
Menangkal Seks Bebas Remaja
Oleh : Agus Syahputra
Kasus adegan tidak senono yang tersebar di masyarakat sangat
meresahkan kita semua. Apalagi pelaku adegan porno tersebut adalah
pelajar sekolah. Misalnya, video mesum remaja di Bantul, adegan
mesum seorang siswi berseragam SMP di Temanggung dengan seorang siswa
SMU, dan rekaman video porno yang dilakukan pelajar salah satu SMA
negeri di Madiun yang berdurasi 50 detik.Fenomena itu tidak terlepas dari kemajuan teknologi informasi yang berkembang cukup pesat di negara ini. Namun kemajuan teknologi itu tidak direspon positif di kalangan pelajar, sebaliknya malah disalahgunakan untuk memenuhi kebutuhan syahwat mereka. Parah bukan?
Berdasarkan hasil penelitian, kasus seks bebas di kota-kota besar seperti Medan, Jakarta, Bandung, Surabaya dan Jogjakarta sangat tinggi bahkan melebihi angka 50 persen. Lebih mencengangkan lagi di kota Jogjakarta sekitar 97,05 persen remaja Jogjakarta pernah melakukan hubungan seks di luar nikah (free sex).
Penelitian ini di lakukan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dengan melibatkan 1660 koresponden. Hal ini sangat memprihatinkan lantaran menyangkut resiko penyimpangan perilaku seks. Bahkan menurut data BKKBN pada 2010, tercatat lebih dari setengah remaja telah melakukan hubungan layaknya suami istri. Kasus ini menjadi masalah besar yang harus dihadapi para remaja terkait penularan HIV/AIDS yang diakibatkan meningkatnya kasus seks di luar nikah yang mencapai 51 persen.
Tentu maraknya seks bebas remaja tak bisa diabaikan karena perkembangan teknologi. Sebab, perkembangan teknologi tak saja membawa dampak positif, namun di sisi lain juga memberikan efek yang sangat berbahaya bagi bangsa khususnya remaja. Hal ini menjadi miris bagi bangsa Indonesia, yang mana para remaja diharapkan bisa melanjutkan tongkat estapet perjuangan bangsa malah terperosok ke dalam jurang seks bebas. Lantas tidakan apa yang harus kita lakukan?
Hemat penulis dalam menyikapi persoalan itu semua pihak ikut peduli dalam menangani kasus itu. Pertama, peran orang tua dituntut untuk lebih memperhatikan anak-anaknya, dengan memberikan pelajaran agama yang intens bukan malah sibuk dengan kegiatan di luar yang malah berakibat fatal, dengan prilaku anak-anak lebih nyaman di luar daripada di rumah. Kedua, lembaga pendidikan sebagai lingkungan kedua bagi para pelajar di harapkan mampu mengerahkan siswa/mahasiswa dengan memberikan wadah untuk pengembangan bakat dan skil mereka. Selain itu, yang tak kalah penting dalam penanggulangan kasus seks remaja yakni dengan memberikan pelajaran tambahan mengenai sex education melalui pemberian pengetahuan soal organ reproduksi dan hubungan seks yang sehat dan aman, disertai dengan pengetahuan cara mencegah kehamilan dan penularan penyakit akibat hubungan seks. Tujuannya, untuk memberikan pengertian agar mereka tidak melakukan seks pranikah. Pungkas, adalah peran penting lembaga pemerintah sangat dibutuhkan dalam menindak secara tegas kasus penyebaran video porno dan melakukan kampanye anti seks bebas yang merusak remaja Indonesia.
Jika semua pihak sudah berjalan dengan sinergis dan bahu-membahu dalam memberantas semua kasus yang berdampak terhadap moralitas bangsa dan agama, maka ke depan bukan tidak mungkin Indonesia akan mempunyai generasi muda yang berkualitas dan dapat diandalkan bagi bangsa dan negara.
Menangkal Gerakan NII
03.38
No Comments
Menangkal Gerakan NII
Oleh : Agus Syahputra
Akhir-akhir
ini masyarakat Indonesia dihebohkan dengan pemberitaan tentang kelompok
radikal yang ingin mendirikan negara Islam di Indonesia yang dikenal
dengan sebutan NII. Hal ini sangat meresahkan semua elemen, karena kasus
ini merupakan ancaman bagi eksistensi NKRI. Karena keberadaan NII akan
mengancam Pancasila sebagai ideologi negera.Lebih dari itu, kelompok NII menggunakan landasan berpikir normatif berdasarkan paham agama yang kaku. Sehingga dalam melakukan perekrutan pun lebih pada doktrin fudamentalisme agama. Selanjutnya, target utama mereka adalah kisaran remaja yang mayoritas adalah pelajar dan mahasiswa. Dalam teori psikologi, remaja seusia itu bisa dikatakan labil dalam segi pemikiran. Karena diketahui, mereka masih dalam proses pencarian jati diri. Sehingga mudah untuk didoktrin tentang pemahaman ideologi fundamentalisme agama.
Daripada itu, gerakan radikal lebih mengarah pada penghapusan ideologi pancasila. Dengan targetan besar, mendirikan sebuah sistem kekhalifahan di negeri ini. Padahal, semboyan negara kita adalah Bhineka Tunggal Ika, yang seluruh elemen bisa merasakan hidup di bangsa ini. Gagasan besar ini adalah makna plural, seperti halnya yang dikemukakan oleh KH. Abdurrahman Wahid. Namun, sebaliknya yang digagas mereka malah mendeskritkan makna dari pengejewantahan UUD 1945.
Padahal kalau kita melihat sejarah perjalanan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia penuh dengan perdebatan dan pertentangan ideologi Islam dan sekuler.|Namun semua pihak rela untuk tidak mengutamakan kepentingan individu dan kelompok apalagi paham keagamaan tertentu demi terbentuknya NKRI.
Empat pilar dalam bernegara seperti, UUD 1945, Pancasila, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika sudah representatif untuk dijadikan panduan dalam bernegara. Pertama, UUD 1945 adalah pedoman utama dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan negara. Kedua, Pancasila sebagai dasar negara sudah mengakomodir kepentingan semua golongan tanpa mendiskreditkan golongan lain. Ketiga, adalah NKRI yang menyatakan bahwa Indonesia merupaka sebuah negara kesatuan yang berbentuk republik yang terbagi atas pulau-pulau, provinsi, kabupaten/kota. Dan yang terakhir adalah Bhineka Tunggal Ika yang menjelaskan bahwa di negara ini terdiri dari banyak suku, budaya, ras dan watak namun dari keragaman tersebut masyarakat Indonesia sudah seiya sekata untuk menjadikan perbedaan itu sebagai landasan persatuan.
Dengan demikian, jelas NII adalah gerakan makar karena telah membelot dari landasan luhur NKRI. Maka dari itu, semua pihak mempunyai tanggung jawab untuk tetap waspada dengan melakukan antisipasi-antisipasi, dimulai dari keluarga yang mempunyai peran penting dengan melakukan komunikasi yang baik terhadap keluaraga dan membentengi anak-anaknya dengan memberikan pemahaman keagamaan yang iklusif dan memuat nilai-nilai pancasila sebagai pijakan hidup sejak usia dini.
Bukan hanya keluarga, pihak sekolah yang juga berperan penting dalam memberikan pelajaran dan arahan tentang keindonesiaan harus lebih intens lagi dan kalau perlu memberikan waktu tambahan untuk mata pelajaran yang dapat membangun rasa nasionalisme serta menghargai segala bentuk perbedaan (baca:agama).
Dengan demikian pembenahan lewat sistem, kurikulum, iklim sekolah yang lebih terbuka menjadi mendesak diwujudkan guna mencegah marakanya gerakan NII yang meresahkan masyarakat. Tentu dalam mewujudkan upaya sekolah itu negara dapat berperan aktif membantu sekolah dalam usaha memberantas paham radikal agama sampai ke akar-akarnya. Semoga!
Senin, 18 April 2011
Ulama Berpolitik
00.44
No Comments
Oleh : Agus Syahputra
Bagaimanapun politik adalah realitas
konkret dalam kehidupan manusia dan mau tidak mau kiai harus masuk dalam
realitas itu untuk kemudian menjadi panutan bagaimana membangun praktik politik
yang berkeadilan dan beradab.
Oleh karena itu, para kiai tidak
cukup mengisolasi atau mengkerangkeng diri dalam ruang suci hama bernama
kulturalisme (atau isolasi moralitas), tapi juga harus berani memasuki ruang check-up
atau kamar bedah strukturalisme agar bisa diidentifikasi penyakit-penyakit yang selama ini menghambat kiprah optimal
mereka dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara, untuk kemudian dibuat
sebuah “rencana” (planning) penanganannya, Selanjutnya dari situ
dilakukan akuisisi permasalahan, yang didefinisikan sebagai transfer dan
transformasi beberapa sumber permasalahan ke dalam penyelesaian terprogram.
Tentu saja program atau perencanaan pemberdayaan umat mempunyai fungsi yang
sangat penting dan strategis dalam menginventarisasikan dan mengkoordinasikan
usulan-usulan kegiatan, menyiapkan kegiatan, melakukan verifikasi dan validasi
kegiatan (baik secara teknis, administrasi maupun orientasi nilai), dan
melaksanakan evaluasi terhadap pelaksanaan sejumlah kegiatan.
Sejalan dengan itu agar para kiai
tidak mengalami perubahan orientasi, seperti yang dikhawatirkan banyak orang,
mungkin perlu juga dipikirkan pemetaan alokasi sumber daya para kiai. Seperti,
para kiai yang lebih pantas berkiprah dalam domain strategi dan taktik
(politik) tidak boleh dicampurbaurkan dengan wilayah kerja ulama yang mampu
dengan elegant mengembangkan
pemikiran-pemikiran konseptual untuk melayani pemberdayaan politik umat,
kendati secara esensial keduanya bekerja dalam satu jejaring (network) dan satu paket visi-misi
yang sama.
Dengan pembagian kerja seperti itu,
di satu sisi ulama terlibat aktif dalam ranah politik praktis, tetapi juga bisa
melokalisir pengaruh negatif (politik praktis) seandainya timbul
praktik-praktik politik yang distortif yang dilakukan oleh para kiai yang
berkiprah dalam tataran strategi dan taktik (politik).
Jika dua model perjuangan ini bisa
berjalan secara koordinatif dan beriringan, maka kekhawatiran terjadinya
pergeseran tidak akan terjadi. Dikotomi peran ulama pun dengan sendirinya akan
berakhir, dan selanjutnya para kiai lebih mengalokasikan energinya untuk
mengatasi persoalan-persoalan umat yang lebih urgen, misalnya saja tentang
perjuangan mengatasi kemiskinan dan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia.
Problem Moralitas DPR
00.39
No Comments
"Arifinto bangun tradisi moral DPR," kata Anis Matta, Sekjen PKS, mengomentari pengunduran diri Arifinto dari DPR.
Teman itu lalu menyebut seorang anggota DPR yang telah jadi ”bintang video porno” beberapa tahun lalu. Anggota DPR itu juga mundur dari DPR. ”Apakah orang seperti itu juga sebagai penegak moral DPR?” kembali dia bertanya.
Tak berhenti sampai di situ. Teman itu kemudian mengingatkan bahwa sampai sekarang Arifinto tetap tak mengaku salah telah membuka file gambar porno. Gambar itu, kata dia, hanya sekilas muncul di layar komputer kecilnya hanya karena silap membuka kiriman surat elektronik. Padahal, bukti yang ditunjukkan wartawan yang membongkarnya berbicara lain.
Arifinto, dalam pandangan teman saya itu, mundur bukan karena merasa salah. Ia mundur karena memperoleh tekanan publik dan tekanan elite PKS yang tidak ingin citra partainya luntur.
Moralitas Anggota DPR
Ukuran moralitas yang dipakai oleh Anis Matta dengan yang dipakai oleh teman saya itu barangkali berbeda. Namun, apa yang dikemukakan oleh Anis Matta memang bukan semata-mata mengacu pada ukuran moral yang jamak.
Apa yang dilakukan Anis Matta harus dipahami sebagai upaya untuk mempertahankan citra partai. Karena itu, argumentasinya itu bisa dipahami sebagai upaya rekonstruksi tentang kader PKS yang telah dicap sebagai pelanggar moral. Cap inilah yang dicoba untuk direkonstruksi sebagai seorang penegak moral.
Hanya saja Anis lupa, logika semacam itu jelas mengabaikan realitas bahwa pengunduran diri itu merupakan bagian dari konsekuensi hukuman yang harus diterima. Menonton gambar porno bisa jadi sudah dianggap sebagai sesuatu yang jamak dilakukan, tetapi ketika hal itu dilakukan oleh anggota DPR pada saat sidang, jelas merupakan pelanggaran berat. Ketika orang semacam ini dipandang sebagai pahlawan, sebagai pembangun tradisi moralitas, sulit diterima oleh publik.
Hal yang mungkin bisa kita cermati adalah fenomena tentang titik berat moralitas yang jadi sorotan dan kegalauan. Dalam hal yang bercorak personal dan berhubungan dengan agama, kita—termasuk partai—begitu cepat meresponsnya. Kasus video porno beberapa tahun lalu, foto Max Moein dan Arifinto, begitu cepat direspons partai. Ketiga pelaku cepat mengundurkan diri dari DPR.
Cepatnya reaksi partai terhadap kasus- kasus seperti itu tidak lepas dari realitas bahwa kasus-kasus semacam itu masih dianggap tabu. Lebih-lebih ukuran tabu tidaknya sesuatu acap kali dikaitkan dengan aspek moralitas agama. Partai-partai tak mau berhadapan dengan realitas semacam ini hanya dengan melindungi orang-orang yang telah dianggap sebagai pelanggar moralitas agama.
Namun, ketika terdapat kasus-kasus pelanggaran moralitas publik, berkaitan dengan kegiatan dan pengelolaan negara, hampir semua partai tak cepat merespons. Tengoklah apa yang dilakukan partai-partai terhadap anggotanya yang sering membolos atau terlibat kasus korupsi. Semua partai biasanya tidak berbuat banyak, kalau tidak malah defensif dengan alasan menganut asas ”praduga tak bersalah”.
Lihat apa yang dilakukan PKS terhadap Misbakhun, PDI-P dan Golkar terhadap para anggota DPR yang kesandung ”BI-gate”, dan Partai Demokrat terhadap Amrun Daulay, juga partai lain yang kadernya terlibat kasus korupsi? Semua defensif dan tak ada upaya serius mendesak anggotanya yang terlibat itu mengundurkan diri.
Moralitas publik
Logika semacam itu berarti bahwa masalah pelanggaran moral pengelolaan negara masih belum dipandang sebagai sesuatu yang serius. Kasus-kasus abuse of power, seperti kasus korupsi, masih dianggap lebih rendah kalau dibandingkan dengan kasus menonton gambar porno.
Dalam perspektif agama, kasus korupsi bisa jadi malah lebih besar daripada kasus pembunuhan yang selama ini dianggap dosa besar. Kasus korupsi, apalagi bernilai miliaran, sejatinya lebih besar dari ”pembunuhan” terhadap ratusan orang.
Turunlah kita ke kampung-kampung, mencermati dan bertanya kepada pedagang keliling. Setiap hari mereka memutar modal senilai hanya puluhan ribu untuk menopang kehidupan sehari-hari. Kalau uang satu miliar yang dikorupsi itu bisa dinikmati orang-orang kecil itu untuk menambah modal, betapa berbunga-bunga wajah mereka.
Kesediaan Arifinto mengundurkan diri sebagai anggota DPR memang patut dihargai. Namun, masalah moralitas DPR itu bukan sekadar pelanggar moral agama berkaitan dengan masalah video dan gambar porno. Moralitas publik yang berkaitan dengan kerja dan tata kelola pemerintahan jelas tak kalah penting. Bahkan, dalam kehidupan bernegara, masalah ini yang lebih penting.
Meski demikian, bukan berarti orang yang mengundurkan diri karena kasus-kasus pelanggaran moral itu, apakah moral agama atau yang lain, lalu disebut sebagai pahlawan. Bagaimanapun, lembaga publik semacam DPR telah punya aturan main. Yang melanggar harus diberi sanksi. Orang yang kena sanksi, baik secara kelembagaan maupun tahu diri, lalu membuat sanksi untuk dirinya adalah orang-orang terhukum atau menghukumi diri sendiri.
Kacung Marijan
Minggu, 17 April 2011
00.41
No Comments
Dosen dan Mahasiswa
UIN Yogyakarta Unjuk Rasa
Jumat, 15 April 2011 09:55:00
|
SLEMAN (KRjogja.com) - Ratusan mahasiswa
dan mahasiswa yang tergabung dalam Keluarga Besar Fakultas Dakwah (KBFD) UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, melakukan unjukrasa di komplek kampus setempat,
Jumat (15/4). Mereka menilai, kepemimpinan Dekanat Fakultas Dakwah tidak
aspiratif terhadap civitas akademika.
Koordinator aksi,
Ahmad Izuddin mengemukakan, penyelenggaraan kepemimpinan dekanat mengalami
disorientasi peran dan kebijakan. Khususnya mengenai perubahan nama Fakultas
Dakwah menjadi Fakultas Dakwah dan Komunikasi.
"Nama Fakultas
Dakwah itu sudah komprehensif. Sedang nama baru, Fakultas Dakwah dan Komunikasi
justru akan berbenturan dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora. Ini kan jadi
rancu, makanya kami semua menolak nama baru tersebut," ungkapnya disela
aksi.
Menurut para mahasiswa,
pergantian nama baru, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, juga dilakukan secara
sepihak. Usulan dari civitas akademika sama sekali tidak direspon, meskipun
dalam forum resmi. "Makanya, kami menuntut agar nama Fakultas Dakwah dan
Komunikasi dicabut. Kalau tidak, kami minta dekanat saat ini harus turun dari
jabatannya dan diganti dekanat yang baru," imbuh Ahmad.
Sedangkan dari pihak
dosen, Nurulhaq mengaku, dekatan fakultas ini tidak pernah transparan dalam hal
pengelolaan dana. Setiap tahun, Fakultas Dakwah mendapat bantuan DIPA sebesar
Rp 1,5 milyar namun tidak ada laporan.
"Kalau tidak ada
transparansi berarti kan ada sesuatu yang tidak beres. Padahal, kami semua
berhak untuk mengetahui kemana aliran dana tersebut," ungkapnya.
Selain itu, para dosen juga menilai, pimpinan fakultas tidak memiliki
program kerja sesuai dengan visi-misi. Seakan, setiap kegiatan di fakultas
berjalan secara sendiri-sendiri. "Tidak adanya visi-misi ini membuat arah
tujuan fakultas ini tidak ada ujungnya. Tidak ada koordinasi antara
masing-masing pembantu dekan," ungkap Nurulhaq. (Dhi)
Jumat, 08 April 2011
Petani Karet Sulit Remajakan Kebun
04.37
No Comments
Para petani karet yang kesulitan memperbaharui kebun adalah petani karet kecil dengan luas kebun antara 1-2 hektar. Usia pohon karet mereka umumnya lebih dari 25 tahun dan hasil produksi terus menurun setiap tahunnya.
Pasangaan petani karet dari Dusun IV Desa Pandan Dulang, Kecamatan L awang Wetan, Kabupaten Musi Banyuasin, Herman (55) dan Rokiyah (52) mengatakan, usia pohon karet di lahan seluas satu hektar miliknya telah lebih dari 30 tahun.
"Jumlah getah karet yang dihasilkan kebunnya sangat rendah, yaitu maksimal delapan kilogram karet basah sehari. Kalau pohon karet masih baik kondisinya, seharusnya bisa menghasilkan sampai dua kali lipatnya," tuturnya, Kamis (7/4/2011).
Pohon karet mulai menghasilkan getah pada usia tujuh tahun. Pada usia 25 tahun, pohon karet perlu diganti dengan bibit-bibit baru agar hasilnya tetap tinggi. Peremejaan kebun karet membutuhkan biaya tinggi, yaitu sekitar Rp 20-25 juta per hektar. Biaya ini meliputi penanaman bibit hingga perawatan selama tujuh tahun hingga kebun karet menghasilkan.
Hal yang sama diutarakan petani karet Desa Bandar Jaya, Kecam atan Batanghari Leko, Musi Banyuasin, Wati (40). Hingga saat ini, Wati belum bisa meremajakan kebun karetnya seluas sekitar satu hektar yang juga telah berusia lebih dari 25 tahun.
Karena hasil kebunnya sendiri sangat minim, Wati mencari penghasilan utama menjadi petani penyadap di kebun milik petani besar di desanya dengan sistem bagi hasil.
"Dari menyadap di kebun orang, sebulan saya dapat sekitar Rp 2 juta tiga bulan terakhir ini. Sebelumnya, dapatnya tak lebih dari Rp 1 juta sebulan," ucapnya.
Baik Wati maupun Herman dan Rokiyah mengaku tak punya uang untuk meremajakan kebunnya. Mereka kesulitan mencari pinjaman dari bank karena tidak mempunyai jaminan yang memadai.
Sebagian besar petani karet di Musi Banyuasin yang jumlah totalnya mencapai 98 ribu kep ala keluarga itu juga belum tergabung dalam kelompok tani maupun koperasi yang dapat memudahkan memperoleh tambahan modal bertani.
Selama ini, mereka juga belum pernah memperoleh bantuan pemerintah untuk meningkatkan produktivitas kebun karet. Rendahnya getah yang dihasilkan oleh pohon karet tua membuat petani karet skala kecil kesulitan meningkatkan kesejahteraan.
"Meskipun harga karet saat ini tinggi, hasilnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Belum bisa untuk menabung," tutur Rokiyah.
Terkait hal itu, Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten Musi Banyuasin, Rusli mengatakan, untuk membantu peremajaan kebun karet rakyat, pemerintah daerah sebenarnya telah mengadakan program satu juta batang bibit karet sejak tahun 2009.
Selain itu, terdapat pula program nasional pinjaman bunga ringan khusus revitalisasi kebun karet dengan jumlah pinjaman Rp 23 juta untuk tiap hektar kebun karet. Namun, kata Rusli, banyak petani belum dapat mengakses bantuan pinjaman ringan yang disediakan bank ini.