TULISAN

PTN, Antara Cover dan Isi
Oleh Agus Syahputra*
                 Status Perguruan Tinggi Negeri kembali diributkan. Dalam rapat dengar pendapat umum pembahasan Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi (RUU PT), belum lama ini di Jakarta, pemerintah dan DPR memberi tawaran tiga opsi status PTN pasca pembatalan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan oleh Mahkamah Konstitusi. Tiga opsi itu diantaranya: perguruan tinggi otonom, semi otonom, dan otonom terbatas.
                Pembahasan status PTN hemat penulis bukan sesuatu substantif. Pasalnya, PTN telah lama berdiri, tapi pemangku kebijakan masih berkutat pada persoalan cover atau bungkus. Para stakeholders dunia pendidikan belum beranjak dalam persoalan substansial institusi pendidikan tinggi seperti ditegaskan dalam UUD 1945 yakni bagaimana setiap warga negara berhak mengenyam pendidikan.
Selain itu, masalah lebih serius dalam pendidikan kita seperti: komersialisasi, kapitalisasi, dan seabrek persoalan lain sejatinya mendapat perhatian penting dari pemangku kebijakan pendidikan. Pelbagai masalah signifikan dan bahkan mendesak itu justru diabaikan dan para elit pendidikan lebih suka mengurusi persoalan bungkus, itu-itu saja dan tak urgen.
Sebagai bangsa besar, kita patut merasa aneh. Mengapa persoalan pendidikan di negeri ini, atau lebih spesifik PTN tak mengarah pada masalah pendidikan yang lebih mendesak dan menawarkan solusi yang lebih solutif atas pelbagai problem pendidikan itu. Apakah kita kekurangan intelektual yang mengerti akar persoalan pendidikan di bangsa ini?
              Penulis dan bahkan kita semua kadang berpikir, apakah pemangku kepentingan pendidikan sudah buta mata, tuli telinga, dan mati rasa—atas pelbagai persoalan serius pendidikan. Persoalan klise pendidikan, semisal, mahalnya biaya masuk kuliah, sarana dan prasarana kampus minim, tenaga pengajar kurang berkualitas, hedon(isme) mahasiswa, PT yang berada di menara gading serta tak jarang apatis terhadap lingkungan masyarakatnya, belum lagi soal kualitas pendidikan kita kini di bawah Malaysia—ini merupakan masalah signifikan di dunia pendidikan negeri ini?
             Tapi, anehnya, persoalan penting itu belum banyak dibicarakan pemangku kepentingan pendidikan di negeri berpenduduk 240 juta jiwa. Mereka (baca: stakeholders pendidikan) malah sibuk di persoalan cover pendidikan, menentukkan status PTN semisal. Padahal, kita tahu menentukkan status PTN memakan ongkos yang tak sedikit, termasuk biaya politik di dalamnya—diakui atau tidak.
Sudah bukan rahasia umum, tiap perumusan status PTN menelan biaya mahal. Mulai dari tahap perencanaan, rapat antara DPR dan pemerintah, adanya lobbi serta negosiasi politik, hingga tahap implementasi di lapangan, semua butuh ongkos yang tak sedikit. Ironinya, para elit pendidikan justru senang mengurusi persoalan seperti itu? Aneh bukan?
Komitmen Pemerintah
            Apa pun statusnya nanti yang akan dipilih PTN, entah itu otonom, semi otonom, atau otonom terbatas, tapi yang jelas komitmen pemerintah sebagaimana diamanahkan UU harus dijalankan, yakni meningkatkan kualitas pendidikan, tidak memangkas anggaran negara dengan dalih status otonom. Intinya, pemerintah diharapkan tidak cuci tangan dalam persoalan status PTN.
            Kegelisahan itu memang patut diresakan. Pasalnya, kita sudah punya pengalaman pahit. Kita tahu dengan berbagai status PTN, ada yang BHMN, BLU, dan sejenisnya, senyatanya biaya pendidikan di kampus tersebut mahal. Di tengah kondisi itu, pemerintah seakan lepas tangan dan menutup mata akan realitas pendidikan yang kian mahal dan menjeritkan kaum papa karena pelbagai status PTN yang mengarah pada bentuk kapitalisasi dan juga komersialisasi pendidikan.
            Kini, arah kebijakan pemerintah pada dunia pendidikan tampaknya belum beranjak dari yang sebelumnya. Perumusan PTN tiga opsi itu dengan kata kunci “otonom” menandakan kewenangan lebih akan dilimpahkan pada masing-masing kampus tanpa kontrol ketat dari pemerintah. Dalam konteks itu, pemerintah cuci dan bahkan lepas tangan.
            Ironi memang, di era demokrasi kontrol negara pada masa depan pendidikan lemah. Kata otonom ditafsirkan secara liberal. Yakni, kampus bebas mengelola segala aset yang dimiliki dengan muara utama komersialisasi dan kapitalilasi pendidikan. Dengan demikian, kampus dapat mencari uang sebanyak-banyaknya untuk membiayai operasional lembaga pendidikan agar dapat bertahan di tengah kompetisi yang begitu ketat.
            Walhasil, dengan penerapan kebijakan seperti itu ujung-ujungnya rakyat kecil pula yang dirugikan. Itu sangat memukul nasib 29 juta rakyat miskin di negeri ini. Jangankan untuk memenuhi biaya pendidikan (baca: kuliah) yang melangit, untuk makan sehari-hari saja mereka susah. Parahnya, lembaga pendidikan kita, apalagi yang berstatus otonom sangat apatis dengan fenomena sosial itu, termasuk pula negara.
            Kebekuan dan bahkan disorientasi pendidikan itu wajib dikritik konstruktif. Pada titik itu, publik berharap nurani pemangku kebijakan pendidikan dapat terbuka melihat realitas pendidikan yang kian susah diakses jutaan rakyat miskin dengan status otonom. Apa pun pilihannya, otonom, semi otonom, atau otonom terbatas—semuanya menyulitkan masyarakat. Di tengah kondisi itu, kita juga berharap akademisi, ilmuan, aktivis, politisi, LSM, media, serta elemen lain dapat bersatu menuntaskan problem krusial PTN tersebut. Kita tunggu saja!

Menakar Nasionalisme Kaum Pelajar
Oleh : Agus Syahputra
Perdebatan mengenai nasionalisme para pelajar yang lebih memilih mendukung atlet dari Negara lain pada even Sea Games ke XXVI mestinya tidak perlu berkepanjangan. Pasalnya, masalah yang diperdebatkan adalah permasalahan klasik serta tidak esensial. Sederhananya, jiwa nasionalisme tidaklah semata diukur dari hal semacam itu.
Berbicara nasionalisme sama sekali tidak ada takaran yang pasti. Persoalannya, bahwa para pelajar itu  telah menerima uang dari pihak tertentu untuk memberikan dukungan keparda salah satu negara yang ikut berlaga dalam pesta olah raga Se- Asia Tenggara tersebut adalah sah-sah saja, karena mereka hanya sekadar memeriahkan, bahkan tidak ada sama sekali terlintas dalam pikiran mereka untuk menjual rasa nasionalismenya.
Ibarat kata pepatah, ke manapun seseorang merantau, niscaya suatu saat ia akan kembali ke kampong halamannya. Hal ini mengisyaratkan bahwa, meskipun seseorang, dalam konteks Sea Games, malah justru mendukung negara lain, maka ia pun pasti tidak akan melupakan tanah di mana ia dilahirkan. Bahasa sederhananya, para pelajar tersebut, dalam hati terkecilnya pasti tetap mendukung Negara di mana ia dilahirkan. Terlebih, meraka hanya mendapatkan tugas untuk ikut berpartisipasi dalam menyukseskan pesta olah raga tersebut untuk memperlihatkan  bahwa Indonesia sebagai tuan rumah mampu menjadikan ajang Sea Games ini sebagai alat diplomasi serta menjalin persahabatan sekaligus pemersatu negara-negara di Asia Tenggara.
            Dengan demikian, kebijakan panitia penyelenggara yang menginstruksikan kepada beberapa sekolah untuk memberikan dukungan kepada negara yang ikut berlaga merupakan tujuan yang mulia dan semua yang dilakukan oleh para pelajar tersebut merupakan sikap nasionalisme yang tinggi, karena mereka ingin memberikan citra baik untuk bangsa ini. Semestinya persoalan tersebut tidak ditanggapi dengan sikap antipati, karena banyak hal yang harus kita selesaikan terkait masalah nasionalisme dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan pesta olahraga seakbar sea-games ini.
            Ada  banyak hal yang harus kita selesaikan mengenai nasionalisme anak bangsa. Sebab, kita sama-sama menyadari bahwa jiwa nasionalisme sedang mengalami degradasi yang cukup menghawatirkan, seperti, kasus tawuran antar pelajar yang sampai saat ini belum teratasi, konfilik yang terjadi di masyarakat, gerakan sapararis yang bergejolak di beberpa daerah dan lain sebagainya. Padahal, beberapa persoalan tersebut lebih substansial karena mengancam kesetabilan negara serta menggiring bangsa ini kepada disintegrasi. Inilah sebenarnya persoalan besar yang akan terus mengancam nasionalisme anak bangsa kita dan patut diperhatikan secara bersama.
            Terlepas dari itu, fakta yang menunjukkan bahwa  praktek kekerasan antar anak bangsa yang terus bergejolak adalah realita yang mestinya pertama kali dijadikan sorotan tajam jika kita ingin memperdebatkan nasionalisme anak bangsa ini dan bukan persoalan kecil yang sebenarnya tidaklah perlu diperdebatkan itu.
            Menurut penulis, ada beberapa hal yang harus menjadi prioritas utama dalam mengembalikan semangat nasionalisme tersebut. pertama, peran lingkungan sekola dalam membentuk karakter paserta didik. Kedua, peran aktif organisasi pemuda sangat diharapkan dalam memberikan pemahaman nasionalisme di kalangan pemuda. Ketiga, memberikan perhatian khusus kepada masyarakat yang berada di daerah konfilik dan daerah perbatasan. Yang terakhir adalah peran pemerintahlah yang dituntut aktif untuk mengapresiasi lembaga yang mengkampanyekan semangat nasionalisme anak bangsa.
            Dengan demikian, persoalan nasionalisme tidak akan menjadi perdebatan yang panjang lagi sehingga tidak akan ada pemaknaan yang keliru terhadap nasionalisme. Sebab, yang kita inginkan bukanlah nasionalisme semu, tetapi nasionalisme yang substansial. Dan dalam konteks kaum pelajar, jiwa nasionalisme dapat ditumbuh-kembangkan dengan banyak cara, sikap dan kesadaran merekalah yang harus terus dipupuk.




Menggugah Kesadaran Lingkungan Masyarakat
Oleh : Agus Syahputra

Beberapa hari yang lalu masyarakat dunia baru saja memperingati hari lingkungan hidup sedunia. Dalam momentum penting itu, diangkat tema “forests: nature at your service” yang pada intinya ingin mengkampanyekan tentang pentingnya hutan bagi ekosistem yang ada di muka bumi ini. Topik tersebut menarik mengingat hutan dunia kini sedang mengalami kerusakan yang cukup serius di berbagai aspeknya.
Di Indonesia misalnya, kerusakan hutan telah mencapai 1,17 juta hektar pertahun dari jumlah luas hutan sekitar 133.300.543,98 hektar. Tentunya, hal itu sangat memperihatinkan karena kerusakan tidak sebanding dengan pemulihannya yang hanya mencapai 0,5 persen pertahun. Fenomena kontemporer hutan tersebut seharusnya menjadi keprihatinan bersama kita semua mengingat dampak yang ditimbulkan dari kerusakan hutan akan mengancam stabilitas keanekaragaman hayati yang ada di muka bumi.
Apalagi di negeri sendiri, hutan Indonesia merupakan denyut nadi dunia. Dengan demikian tak berlebihan kiranya bila keberlangsungan kehidupan mahkluk hidup yang ada di muka bumi ini bergantung pada hutan yang ada di Indonesia. Menyadari akan hal itu, menjadi keharusan bagi kita semua untuk menjaga kelestarian hutan agar tidak menimbulkan ancaman besar yang berakibat pada terjadinya bencana alam seperti, banjir, tanah longsor, kekeringan dan punahnya berbagai spesies kehidupan.
Bukan hanya kerusakan hutan yang menjadi persoalan krusial di dunia ini, akan tetapi, banyak lagi masalah lingkungan yang berakibat fatal bagi masa depan kemanusiaan. Contoh saja, pembuangan limbah industri yang dialirkan ke laut atau ke sungai yang mengakibatkan pencemaran lingkungan yang akan merusak makhluk hidup yang ada di tempat itu. Parahnya lagi, pembuangan sampah tidak pada tempatnya juga marak saat ini terjadi di masyarakat modern yang katanya sadar akan lingkungan.
Sungguh kenyataan itu membuat hati kita semua miris. Apalagi kerusakan lingkungan sudah berlangsung cukup lama di Indonesia. Praktik ahumanis itu terjadi akibat jahilnya tangan manusia yang tidak bertanggung jawab yang hanya mementingkan perutnya sendiri tanpa memperhatikan dampak yang ditimbulkan bagi kemanusiaan. Maka dari itu, untuk menanggulangi hal tersebut dibutuhkan kesadaran bersama untuk menjaga dan melestarikan lingkungan hidup yang khususnya hutan yang ada di Indonesia.
Menurut hemat penulis ada beberapa langkah penanggulangan kerusakan lingkungan. Pertama, kita harus melakukan penyadaran kepada masyarakat sehingga dapat melahirkan kesadaran bersama dalam melestarikan lingkungan hidup dan menjaga kekayaan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Kedua, membentuk komunitas pencinta alam. Agenda taktis dan strategis dari komunitas ini adalah melakukan kampanye penanaman pohon di semua daerah yang melibatkan semua unsur masyarakat. Ketiga, dibutuhkan peran penting pemerintah dalam menindak tegas oknum yang melakukan eksploitasi terhadap hutan Indonesia dan perilaku yang membuat lingkungan semakin rusak.
Dengan demikian, jika beberapa tawaran solusi penulis itu sudah dilaksanakan dan semua element dapat berjalan secara sinergis maka bukan tak mungkin kelestarian lingkungan hidup kita khusunya hutan akan tetap pulih dan terjaga kembali kelestariannya sehingga memberikan kenyamanan bagi masyarakat di seluruh dunia. Semoga!


Jalan Terjal Reformasi
(Refleksi Peringatan 13 Tahun Reformasi)
Oleh : Agus Syahputra
Perjalanan panjang bangsa ini tak lepas dari problematika kehidupan bernegara. Arif kiranya, bila kita mengenang reformasi 1998 sebagai bagian dari lipatan sejarah bangsa yang dapat diabaikan. Menurut sejarah, tragedi ini meletus dikarenakan banyak kalangan yang tidak percaya pada rezim Soeharto. Dengan gaya kepemipinan otoriter membuat masyarakat marah sekaligus muak karena mengekang aspirasi serta menutup diri dari kritik. Bahkan lebih parah lagi, pada masa orba banyak masyarakat hidup miskin dan melarat. Praktek Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) marak, krisis finansial (krisis moneter) mengakibatkan stabilitas pembangunan nasional terhambat, sirkulasi perekonomian nyaris terhenti, dan berimbas pada konstalasi ekonomi-politik dunia jadi terhambat.
Kebijakan tersebut mengakibatkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Soeharto. Sehingga banyak kalangan melakukan konsolidasi politik untuk menggagas kepemimpinan baru. Gagasan itu mampu menggerakan semua elemen masyarakat untuk melakukan perubahan. Meletuslah gerakan reformasi 13 tahun silam, yang berujung pada tumbangnya rezim Soeharto yang sebelumnya bertahan 32 tahun.
            Gagasan besar mengenai reformasi muncul seiring dengan keinginan masyarakat untuk melakukan perubahan besar terhadap negara Indonesia. Demonstrasi besar-besaran dilakukan oleh beberapa organisasi mahasiswa dan beberapa elemen masyarakat. Namun, Soeharto justru tidak menggubris gerakan demonstarasi tersebut, bahkan tidak percaya bahwa gerakan itu akan mampu menumbangkan kursi kekuasaannya. Soeharto keliru. Sebab, fakta di lapangan menunjukkan pada saat gerakan demonstrasi tersebut berlangsung, Soeharto akhirnya dipaksa mundur dari kursi kepemimpinan negara karena situasi memang sangat sulit dikendalikan.
Puncak kemarahan rakyat Indonesia kepada rezim Orde Baru yang dipimpin Soeharto bermula dari tindakan brutal aparat keamanan terhadap mahasiswa yang sedang berdemonstrasi sehingga mengakibatkan empat mahasiswa Trisakti tewas dalam insiden berdarah itu. Gerakan mahasiswa pun semaki meluas sampai ke seluruh penjuru daerah di Indonesia.
Semua elemen turut berpartisipasi dan turun jalan menuntut  agar presiden Soeharto segera turun dari jabatannya dan bertanggung jawab atas kematian empat mahasiswa Trisakti yang menjadi korban tindakan brutal aparat keamanan. Ini adalah tragedi kemanusiaan, sehingga sulit untuk dimaafkan. Akhirnya, presiden Soeharto terpaksa harus mengundurkan diri  akibat dorongan dilakukan para elite politik dan dukungan moral dari negara-negara luar supaya Soeharto turun dari jabatannya. Turunnya presiden Soeharto dari kursi kepresidenan menandakan bahwa rezim Orde Baru sudah tumbang dan era reformasi menjadi babak baru perjalanan bangsa Indonesia.
Evaluasi Reformasi
            Dalam perjalanannya, reformasi tidak menunjukan hasil maksimal. Mulai dari BJ Habibi menggantikan Soeharto tidak membawa dampak signifikan terhadap perubahan bangsa, karena pada masa itu masih banyak  terjadi konflik antar agama dan etnis. Bahkan kesalahan terbesar yang dilakukan oleh presiden BJ. Habibi ialah memberikan kemerdekaan terhadap Timur-timur.
Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang memenangkan pemilu tahun 1999 diharapkan bisa membawa perubahan bangsa Indonesia, namun Gus Dur tidak bertahan lama dikarenakan  kekuasaannya terjungkal oleh konspirasi elit. Pemerintahan Gus Dur berakhir diganti Megawati.
            Sejalan perubahan waktu Megawati digantikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY yang sudah beranjak dua priode juga tidak mampu melakukan perubahan yang berarti. Cita-cita reformasi  yang menuntut kebebasan berfikir dan berekspresi belum begitu memuaskan masyarakat, KKN semakin merajalela, hak-hak keadilan masyarakat semakin terenggut oleh mereka yang berduit, dan pemerintah sama sekali tidak peduli akan hal itu.  Lantas apa yang menyebabkan reformasi mandul? Dan siapa yang harus bertanggung jawab?
Menurut penulis, kegagalan gerakan reformasi dikarenakan tidak mempunyai konsep berbangsa dan  bernegara yang jelas sehingga reformasi justru dianggap tidak menjadi solusi yang baik untuk menggantikan orba. Mahasiswa yang menjadi garda terdepan dalam menuntut reformasi hanya salah satu kelompok dari banyak kelompok yang bergerak memukul sehingga  setelah itu mahasiswa tidak punya konsep jangka panjang. Kondisi itu oleh Riswanda Immawan disebut politik pintu roboh.
Maka dari itu, kondisi ini menuntut tugas kita bersama. Cita-cita reformasi akan terwujud nyata apabila semua elemen bisa berjalan secara sinergis dalam mengawal tuntutan reformasi demi terwujudnya pilar  negara  yang kuat, masyarakat yang bebas beraspirasi, dan negara yang bersih dari KKN. Dan jika cita-cita mendasar tersebut belum terwujud, maka dapat dikatakan bahwa reformasi belum usai, dan tugas utama negara saat ini ialah menuntaskan tuntutan reformasi yang merupakan keinginan besar rakyat Indonesia.







Menangkal Gerakan NII
Oleh : Agus Syahputra

Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia dihebohkan dengan pemberitaan tentang kelompok radikal yang ingin mendirikan negara Islam di Indonesia yang dikenal dengan sebutan NII. Hal ini sangat meresahkan semua elemen, karena kasus ini merupakan ancaman bagi eksistensi NKRI. Karena keberadaan NII akan mengancam Pancasila sebagai ideologi negera.
            Lebih dari itu, kelompok NII menggunakan landasan berpikir normatif berdasarkan paham agama yang kaku. Sehingga dalam melakukan perekrutan pun lebih pada doktrin fudamentalisme agama. Selanjutnya, target utama mereka adalah kisaran remaja yang mayoritas adalah pelajar dan mahasiswa. Dalam teori psikologi, remaja seusia itu bisa dikatakan labil dalam segi pemikiran. Karena diketahui, mereka masih dalam proses pencarian jati diri. Sehingga mudah untuk didoktrin tentang pemahaman ideologi fundamentalisme agama.
            Daripada itu, gerakan radikal lebih mengarah pada penghapusan ideologi pancasila. Dengan targetan besar, mendirikan sebuah sistem kekhalifahan di negeri ini. Padahal, semboyan negara kita adalah Bhineka Tunggal Ika, yang seluruh elemen bisa merasakan hidup di bangsa ini. Gagasan besar ini adalah makna plural, seperti halnya yang dikemukakan oleh KH. Abdurrahman Wahid. Namun, sebaliknya yang digagas mereka malah mendeskritkan makna dari pengejewantahan UUD 1945. 
Padahal kalau kita melihat sejarah perjalanan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia penuh dengan perdebatan dan pertentangan ideologi Islam dan sekuler.|Namun semua pihak rela untuk tidak mengutamakan kepentingan individu dan kelompok apalagi paham keagamaan tertentu demi terbentuknya NKRI.
Empat pilar dalam bernegara seperti, UUD 1945, Pancasila, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika sudah representatif untuk dijadikan panduan dalam bernegara. Pertama, UUD 1945 adalah pedoman utama dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan negara. Kedua, Pancasila sebagai dasar negara sudah mengakomodir kepentingan semua golongan tanpa mendiskreditkan golongan lain. Ketiga, adalah NKRI yang menyatakan bahwa Indonesia merupaka sebuah negara kesatuan yang berbentuk republik yang terbagi atas pulau-pulau, provinsi, kabupaten/kota. Dan yang terakhir adalah Bhineka Tunggal Ika yang menjelaskan bahwa di negara ini terdiri dari banyak suku, budaya, ras dan watak namun dari keragaman tersebut masyarakat Indonesia sudah seiya sekata untuk menjadikan perbedaan itu sebagai landasan persatuan.
Dengan demikian, jelas NII adalah gerakan makar karena telah membelot dari landasan luhur NKRI. Maka dari itu, semua pihak mempunyai tanggung jawab untuk tetap waspada dengan melakukan antisipasi-antisipasi, dimulai dari keluarga yang mempunyai peran penting dengan melakukan komunikasi yang baik terhadap keluaraga dan membentengi anak-anaknya dengan memberikan pemahaman keagamaan yang iklusif dan memuat nilai-nilai pancasila sebagai pijakan hidup sejak usia dini.
Bukan hanya keluarga, pihak sekolah yang juga berperan penting dalam memberikan pelajaran dan arahan tentang keindonesiaan harus lebih intens lagi dan kalau perlu memberikan waktu tambahan untuk mata pelajaran yang dapat membangun rasa nasionalisme serta menghargai segala bentuk perbedaan (baca:agama).
Dengan demikian pembenahan lewat sistem, kurikulum, iklim sekolah yang lebih terbuka menjadi mendesak diwujudkan guna mencegah marakanya gerakan NII yang meresahkan masyarakat. Tentu dalam mewujudkan upaya sekolah itu negara dapat berperan aktif membantu sekolah dalam usaha memberantas paham radikal agama sampai ke akar-akarnya. Semoga!


Menangkal Seks Bebas Remaja
Oleh : Agus Syahputra
            Kasus  adegan tidak senono yang tersebar di masyarakat sangat meresahkan kita semua. Apalagi pelaku adegan porno tersebut adalah pelajar sekolah. Misalnya, video mesum remaja di Bantul, adegan mesum seorang siswi berseragam SMP di Temanggung dengan seorang siswa SMU, dan rekaman video porno yang dilakukan pelajar salah satu SMA negeri di Madiun yang berdurasi 50 detik.
            Fenomena itu tidak terlepas dari kemajuan teknologi informasi yang berkembang cukup pesat di negara ini. Namun kemajuan teknologi itu tidak direspon positif di kalangan pelajar, sebaliknya malah disalahgunakan untuk memenuhi kebutuhan syahwat mereka. Parah bukan?
Berdasarkan hasil penelitian, kasus seks bebas di kota-kota besar seperti Medan, Jakarta, Bandung, Surabaya dan Jogjakarta sangat tinggi bahkan melebihi angka 50 persen. Lebih mencengangkan lagi di kota Jogjakarta sekitar 97,05 persen remaja Jogjakarta pernah melakukan hubungan seks di luar nikah (free sex).
Penelitian ini di lakukan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dengan melibatkan 1660 koresponden. Hal ini sangat memprihatinkan lantaran menyangkut resiko penyimpangan perilaku seks. Bahkan menurut data BKKBN pada 2010, tercatat lebih dari setengah remaja telah melakukan hubungan layaknya suami istri. Kasus ini menjadi masalah besar yang harus dihadapi para remaja terkait penularan HIV/AIDS yang diakibatkan meningkatnya kasus seks di luar nikah yang mencapai 51 persen.
Tentu maraknya seks bebas remaja tak bisa diabaikan karena perkembangan teknologi. Sebab, perkembangan teknologi tak saja membawa dampak positif, namun di sisi lain juga memberikan efek yang sangat berbahaya bagi bangsa khususnya remaja. Hal ini menjadi miris bagi bangsa Indonesia, yang mana para remaja diharapkan bisa melanjutkan tongkat estapet perjuangan bangsa malah terperosok ke dalam jurang seks bebas. Lantas tidakan apa yang harus kita lakukan?
            Hemat penulis dalam menyikapi persoalan itu semua pihak ikut peduli dalam menangani kasus itu. Pertama, peran orang tua dituntut untuk lebih memperhatikan  anak-anaknya, dengan memberikan pelajaran agama yang intens bukan malah sibuk dengan kegiatan di luar yang malah berakibat fatal, dengan prilaku anak-anak lebih nyaman di luar daripada di rumah. Kedua, lembaga pendidikan sebagai lingkungan kedua bagi para pelajar di harapkan mampu mengerahkan siswa/mahasiswa dengan memberikan wadah untuk pengembangan bakat dan skil mereka. Selain itu, yang tak kalah penting dalam penanggulangan kasus seks remaja yakni dengan memberikan pelajaran tambahan mengenai sex education melalui pemmberian pengetahuan soal organ reproduksi dan hubungan seks yang sehat dan aman, disertai dengan pengetahuan cara mencegah kehamilan dan penularan penyakit akibat hubungan seks. Tujuannya, untuk memberikan pengertian agar mereka tidak melakukan seks pranikah. Pungkas, adalah peran penting lembaga pemerintah sangat dibutuhkan dalam menindak secara tegas kasus penyebaran video porno dan melakukan kampanye anti seks bebas yang merusak remaja Indonesia.
            Jika semua pihak sudah berjalan dengan sinergis dan bahu-membahu dalam memberantas semua kasus yang berdampak terhadap moralitas bangsa dan agama, maka ke depan bukan tidak mungkin Indonesia akan mempunyai generasi muda yang berkualitas dan dapat diandalkan bagi bangsa dan negara.

 
Membumikan Tradisi Baca Buku
( Refleksi Hari Buku Nasional )
Oleh : Agus Syahputra

Tiap tanggal 17 Mei diperingati sebagai hari buku nasional. Momentum bersejarah itu menjadi penting untuk membumingkan tradisi baca buku di Indonesia. Karena kita tahu, tradisi membaca di negeri ini mengalami penurunan yang signifikan. Padahal buku memberikan banyak ilmu yang bermanfaat bagi bangsa ini.
            Buku merupakan jendela dunia. Pepatah itu menggambarkan bahwa buku banyak memberikan kita informasi mengenai banyak hal yang ada di dunia baik yang sudah lampau, sekarang dan yang akan datang. Kalau kita melihat beberapa negara maju, ternyata mereka memiliki tradisi baca buku yang tinggi. Amerika, Jepang, Perancis dan beberapa negara maju lainnya—di negara tersebut budaya baca buku kuat minimal delapan jam tiap hari.
            Fakta itu berbanding terbalik dengan realitas yang terjadi di Indonesia. Di negara berkembang, termasuk Indonesia, kebiasaan baca buku di masyarakat hanya dua jam setiap hari. Parahnya lagi, berdasarkan survei UNESCO budaya baca masyarakat Indonesia berada di urutan ke-38 dari 39 negara dan merupakan yang paling rendah di kawasan ASEAN.
Menurut penulis ada beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya minat baca masayarakat Indonesia. Pertama, akibat dari perkembangan teknologi yang cukup pesat akan membawa dampak negative terhadap minat baca masyarakat. Artinya budaya nonton menjadi kuat sementara kebiasaan membaca buku lemah. Kedua, banyaknya tempat hiburan seperti taman rekreasi, karaoke, mall, dan supermarket yang lebih menjadi pilihan karena menyenangkan dari pada baca buku yang membosankan. Ketiga, buku dirasakan oleh masyarakat umum sangat mahal sedangkan jumlah perpustakaan di Indonesia masih sangat sedikit sehingga masyarakat lebih memprioritaskan kebutuhan lainya dari pada beli buku.
Lantas bagaimana membumingkan kembali tradisi baca di Indonesia? Pada konteks itu, peran orang tua sangat dibutuhkan dalam menumbuhkan semangat membaca anak-anak sejak usia dini dengan memberikan pengetahuan mengenai buku yang akan memunculkan rasa cinta dan ketertarikan untuk membaca. Hal ini harus di lakukan secara terus-menerus sehingga membaca menjadi kebiasaan dan kebutuhan.
            Di samping itu, lembaga pendidikan juga mempunyai peran penting dalam meningkat budaya membaca di kalangan pelajar, melalui pembelajaran di ruang kelas yang mengarahkan semua murid untuk selalu membaca. Perpustakaan sekolah juga harus melakukan sosialisasi dan memberikan kenyamanan kepada siswa/mahasiswa agar mereka senang untuk datang dan membaca.
            Dan yang tidak kalah penting adalah peran pemerintah yang diharapkan mampu meningkatkan budaya baca masyarakat dengan melakukan kerja sama dengan beberapa lembaga sponsor untuk menyediakan berbagai fasilitas seperti mendirikan perpustakaan di setiap desa seluruh Indonesia, melakukan  sosialisasi dengan membentuk gerakan pecinta buku, dan memberikan keringanan pajak kepada penerbit agar harga buku bisa dijangkaui oleh masyarakat menengah kebawah.
            Dengan demikian keinginan untuk membumingkan tradisi membaca di Indonesia akan terwujud jika semua pihak berjalan sinergis untuk saling melengkapi dan mengisi semua kekurangan dalam mewujudkan cita-cita besar para founding father kita yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan yakinlah bahwa Indonesia akan menjadi negara yang besar jika masyarakatnya gemar membaca dan mampu mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.




Site Search