Senin, 18 April 2011

Ulama Berpolitik


Oleh : Agus Syahputra

Bagaimanapun politik adalah realitas konkret dalam kehidupan manusia dan mau tidak mau kiai harus masuk dalam realitas itu untuk kemudian menjadi panutan bagaimana membangun praktik politik yang berkeadilan dan beradab.

Oleh karena itu, para kiai tidak cukup mengisolasi atau mengkerangkeng diri dalam ruang suci hama bernama kulturalisme (atau isolasi moralitas), tapi juga harus berani memasuki ruang check-up atau kamar bedah strukturalisme agar bisa diidentifikasi penyakit-penyakit  yang selama ini menghambat kiprah optimal mereka dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara, untuk kemudian dibuat sebuah “rencana” (planning) penanganannya, Selanjutnya dari situ dilakukan akuisisi permasalahan, yang didefinisikan sebagai transfer dan transformasi beberapa sumber permasalahan ke dalam penyelesaian terprogram. Tentu saja program atau perencanaan pemberdayaan umat mempunyai fungsi yang sangat penting dan strategis dalam menginventarisasikan dan mengkoordinasikan usulan-usulan kegiatan, menyiapkan kegiatan, melakukan verifikasi dan validasi kegiatan (baik secara teknis, administrasi maupun orientasi nilai), dan melaksanakan evaluasi terhadap pelaksanaan sejumlah kegiatan.

Sejalan dengan itu agar para kiai tidak mengalami perubahan orientasi, seperti yang dikhawatirkan banyak orang, mungkin perlu juga dipikirkan pemetaan alokasi sumber daya para kiai. Seperti, para kiai yang lebih pantas berkiprah dalam domain strategi dan taktik (politik) tidak boleh dicampurbaurkan dengan wilayah kerja ulama yang mampu dengan elegant mengembangkan pemikiran-pemikiran konseptual untuk melayani pemberdayaan politik umat, kendati secara esensial keduanya bekerja dalam satu jejaring (network) dan satu paket visi-misi yang sama.

Dengan pembagian kerja seperti itu, di satu sisi ulama terlibat aktif dalam ranah politik praktis, tetapi juga bisa melokalisir pengaruh negatif (politik praktis) seandainya timbul praktik-praktik politik yang distortif yang dilakukan oleh para kiai yang berkiprah dalam tataran strategi dan taktik (politik).
Jika dua model perjuangan ini bisa berjalan secara koordinatif dan beriringan, maka kekhawatiran terjadinya pergeseran tidak akan terjadi. Dikotomi peran ulama pun dengan sendirinya akan berakhir, dan selanjutnya para kiai lebih mengalokasikan energinya untuk mengatasi persoalan-persoalan umat yang lebih urgen, misalnya saja tentang perjuangan mengatasi kemiskinan dan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia.



0 komentar:

Posting Komentar

Site Search