Oleh : Agus Syahputra
Bagaimanapun politik adalah realitas
konkret dalam kehidupan manusia dan mau tidak mau kiai harus masuk dalam
realitas itu untuk kemudian menjadi panutan bagaimana membangun praktik politik
yang berkeadilan dan beradab.
Oleh karena itu, para kiai tidak
cukup mengisolasi atau mengkerangkeng diri dalam ruang suci hama bernama
kulturalisme (atau isolasi moralitas), tapi juga harus berani memasuki ruang check-up
atau kamar bedah strukturalisme agar bisa diidentifikasi penyakit-penyakit yang selama ini menghambat kiprah optimal
mereka dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara, untuk kemudian dibuat
sebuah “rencana” (planning) penanganannya, Selanjutnya dari situ
dilakukan akuisisi permasalahan, yang didefinisikan sebagai transfer dan
transformasi beberapa sumber permasalahan ke dalam penyelesaian terprogram.
Tentu saja program atau perencanaan pemberdayaan umat mempunyai fungsi yang
sangat penting dan strategis dalam menginventarisasikan dan mengkoordinasikan
usulan-usulan kegiatan, menyiapkan kegiatan, melakukan verifikasi dan validasi
kegiatan (baik secara teknis, administrasi maupun orientasi nilai), dan
melaksanakan evaluasi terhadap pelaksanaan sejumlah kegiatan.
Sejalan dengan itu agar para kiai
tidak mengalami perubahan orientasi, seperti yang dikhawatirkan banyak orang,
mungkin perlu juga dipikirkan pemetaan alokasi sumber daya para kiai. Seperti,
para kiai yang lebih pantas berkiprah dalam domain strategi dan taktik
(politik) tidak boleh dicampurbaurkan dengan wilayah kerja ulama yang mampu
dengan elegant mengembangkan
pemikiran-pemikiran konseptual untuk melayani pemberdayaan politik umat,
kendati secara esensial keduanya bekerja dalam satu jejaring (network) dan satu paket visi-misi
yang sama.
Dengan pembagian kerja seperti itu,
di satu sisi ulama terlibat aktif dalam ranah politik praktis, tetapi juga bisa
melokalisir pengaruh negatif (politik praktis) seandainya timbul
praktik-praktik politik yang distortif yang dilakukan oleh para kiai yang
berkiprah dalam tataran strategi dan taktik (politik).
Jika dua model perjuangan ini bisa
berjalan secara koordinatif dan beriringan, maka kekhawatiran terjadinya
pergeseran tidak akan terjadi. Dikotomi peran ulama pun dengan sendirinya akan
berakhir, dan selanjutnya para kiai lebih mengalokasikan energinya untuk
mengatasi persoalan-persoalan umat yang lebih urgen, misalnya saja tentang
perjuangan mengatasi kemiskinan dan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia.
0 komentar:
Posting Komentar